TUGAS PENGANTAR PENGKAJIAN SASTRA
Sinopsis & Komentar
10 Puisi, 5 Novel & 2 Naskah Drama.
Dosen Pengampu : Drs. Mulyo Hadi P, M.Hum
Disusun oleh :
Rosyidi Siswanto A2A009066
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2011
Api Ramallah
Waktu membekas, jadi serdadu
di pantai ini, perahu-perahu
telah karam_
Tangan kami tengadah,
tapi hendak menampung segala
yang runtuh bersama bayangan bukit !
pada ombak,
pikiranku hidup, kurekam jejak
angin,
lalu kusisipkan sepenggal diam pada
ekornya_ketika sebuah ledakan
membuat kami terlihat seperti perunggu,
kami dengar erang maut, pahatan nama
nama, kiasan dari kota yang mati
tinggal arang. Dan lampu jadi yatim piatu !
Hidup jadi retak, dan matahari
memiliki bisa laba-laba.
Ingatan kami mengguyuri seluruh
tahun, kami mengungsi jadi
sepenggal puisi. Dan lewat cermin,
sebuah bangsa tak lagi terpantul
hanya laknat, gema yang menyebar,
akankah tangan cuaca merangkum
ketakberdayaannya,
menghidupkannya_seperti bayangan unik
seorang pemabok.
Di pantai ini,
layar telah tergantung, langit pudar,
dan erang maut terus menetes.
Kami mengelana dalam waktu,
di muka kubur, kami ingat sebuah bangsa
yang jadi perunggu_tapi ingatan kami
adalah baju tanpa badan !
W.Haryanto
(dunia ketiga, 199/2002)
Puisi ini bahasanya bagus, namun butuh pemahaman-pemahaman yang mendalam untuk mengetahui isi dari puisi tersebut. Menurut yang saya pahami puisi ini menceritakan tentang bencana alam yang telah melanda di kota itu. Pantai, bencana itu menyebabkan perahu-perahu tenggelam dan menimbulkan banyak korban. Namun apa dikata doa-doa telah dipanjatkan tapi tak dapat menampung segala keruntuhan-keruntuhan oleh bencana itu. Banyak anak yang menjadi yatim piatu, semua mengungsi untuk menyelamatkan diri, dan kini hanya tinggal nama-nama dan kiasan dari kota mati.
Bahkan Anginpun Merintih
bahkan anginpun merintih
di dasar jantungku
dengan suara-suara guntur yang menggema
bagai ribuan topan dan badai geludhuk
berloncatan, memasuki segenap usus
dan urat-urat nadiku, sebagaimana kejelasan
kabut yang hanyamenyisakan kelu
dan warna-warni embun bersemu
tapi selalu ganap mengiris hitam mayatku
dengan jejak hangus
ku uraikan setiap luka dan perihnya kalbu
menghirup birahi-birahi belatung
yang meninggalkan setiap daun dari dahan
atau ranting-ranting randu, seperti
bunga-bunga kubur yang tenggelam
disepanjang ngilu
tulang dan hatiku,
hingga mendung menggumpal
luruh bagai ribuan butir-butir kelabu
lewat sujud-sujud yang membakar bumi
jadi puing atas serakan
serakan abu, aku imani seribu matahari
yang menyerpih pada gempal payudaramu, mencari
satu-satunya kiblat
yang pernah ditinggalkan
perdu atau bola-bola salju
hingga ribuan serangga berdengung
meninsyati jutaan peluru yang meledak
di ujung-ujung luka dan tahajud kematianku.
Indra Tjahyadi
1998
Puisi ini benar-benar memerlukan pemahaman yang mendalam. Kata kata kiasan yang digunakan susah untuk dipahami tetapi didalam puisi ini mempunyai nilai pesan yang bagus bagi sang pembacanya.
Menceritakan keluh-kesah hidup seseorang. Dan mengenai kesadarannya tentang perbuatan-perbuatan yang pernah ia lakukan. Ia terus berdoa dan berdoa dibalik tahajud-tahajudnya sebelum menjelang kematiannya.
Hampa Luska
Kekasih ! Penyihir ! Anguin yang dingin
Membeku. Lari, lari, lari ! Bintang-bintang
Meledak dan raib. Ada mayat-mayat. Burung
Burung melayang dan tak kembali.
O telah kupahami segala gerak dan sunyi.
Tapi, mimpi selalu hadir dari harapan
Tentang mati. Kenang. Kenanglah olehmu
requime
requime panjang detak jam yang berhenti
gagak hitam matahari menyambut sauh
gerimis.
O kalbuku yang sepi ! jiwa yang hanya merindukan
maut sendiri ! Reguklah olehmu gairah yang tumbuh
tanpa cinta dan birahi !
Indra Tjahyadi
2001
Si penulis menggambarkan seseorang yang telah putus asa dengan kehidupannya yang sepi dan hampa tanpa cinta. dia selalu mengharapkan kematiannya sendiri. Di dalam puisi ini dapat kita ketahui bahwa tanpa cinta hidup kita akan terasa hampa.
Bunga disebar
Sesaji dilayar
bunga disebar sesaji dilayar
“jauh jauhilah badai
ikan menepi hai menepilah
masuk
penuhi jaring-jaring ini !”
Seperti menangis sauh berenang
melompat pada pangkuan
Perahu
perahu kini lepaslah
kian lepas tinggalkan tepian
“Badai jauh jauhlah
ikan menepi hai menepilah
masuk
penuhi jaring-jaring ini !”
Geremeng*) doa nenek moyang
masih saja terlihat pada bibir
si anak kecil seperti gelombang kecil
berebut sampai ke tepi
meski samakin lamat-lamat
sunyi
tak terdengar lagi
Muhammad Aris
1996/1998
*) komat-kamit (jawa)
Sebuah tradisi di zaman dahulu tiap kali berlayar harus memberi sesaji-sesaji untuk keselamatan para nelayan ketika berlayar sambil membaca komat-kamit (doa nenek moyang terdahulu). dalam puisi ini dicitrakan kedalam bahasa yang indah, memiliki nilai budaya yang menceritakan adat kebiaeaan terdahulu ketika hendak berlayar.
Gandasturi *)
Lalu tubuhku mengerang !
loncatan hujan di tengah matahari
demikian jantan menembus malam
malam rentan
seperti garis-garis air yang meletik batu
batu makam sepasang pengantin baru
huruf jawa
huruf jawa dengan jerit lelawa
mungkin bukan cerlang sejarah
yang mengecat hutan jati dengan miris
cahaya bulan
tetesan darah
menjamuri ujung-ujung stupa
reruntuhan paling indah di lurik selendang
seperti penggalan terapung
di kali-kali belakang rumah
dah hari
selongsong kulit putih yang memaki
jadi ingatan berumbai-rumbai
kabarkan segala lapar dan liar
menatap tutupi bau kembang
tanah keramat yang lelah
mengabur
di balik bayang-bayang
mimpi sebelum mimpi !
laut hanya gambar sedang pantai jadi gaib
menghajar detak waktu seperti bunyi
keleneng kereta tanpa wujud
angin berhenti di udara
setubuh takjub akan ketakutan
arasy dari jejak leluhur
yng penuh debu
Muhammad Aris
2002
*)salah satu judul cerpen dalam kumpulan cerpen “GERGASI” karya Danarto.
Menceritakan sebuah tanah keramat. Makam dari sepasang pengantin baru. Angker, tiap larut malam terdengar jerit-jerit ketawa. Membuat takut karena jejak leluhur yang penuh debu. Kata-kata yang digunakan dalam puisi ini penuh makna tersendiri, banyak suasana-suasana mistik yang timbul untuk disampaikan kepada sang pembacanya.
Tuhan Telah Menegurmu
Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan
Lewat perut anak-anak yang kelaparan
Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan
Lewat semayup suara adzan
Tuhan telah menegurmu dengan cukup menahan kesabaran
Lewat gempa bumi yang berguncang
Deru angin yang meraung-raung kencang
Hujan dan banjir yang melintang-lintang.
Apip Mustopa
(Dari kumpulan puisi ”Laut biru Langit Biru”)
Jika dilihat dari bentuk dan kalimat – kalimat yang ada pada puisi yang berjudul Tuhan Telah Menegurmu karya Apip Mustopa ini menggunakan Teori Strukturalisme.
Struktur adalah keseluruhan relasi antara berbagai unsur sebuah teks. Strukturalisme adalah aliran ilmu dan kritik yang memusatkan perhatian pada relasi – relasi antar unsur. Relasi – relasi yang di telaah dapat berkaitan dengan unsure – unsure dalam mikroteks (misalnya kata – kata dalam satu kalimat) atau dalam keseluruhan yang lebih luas baris – baris atau bait – bait dalam sebuah sajak.
Teori Strukturalisme adalah sebuah pandangan terhadap sebuah puisi yang dimana puisi itu menonjolkan makna yang ada dalam puisi itu. Berbeda dengan teori – teori Semiotik yang lebih mempermasalahkan tentang tanda – tanda yang ada dalam puisi, Teori Strukturalisme ini akan lebih mempermasalahkan makna – makna penting yang terkandung di dalam sebuh puisi.
Mengapa dikatakan puisi diatas menggunakan teori strukturalisme karena dalam puisi ini tidak ada tanda – tanda baca yang dipermaslahkan. Puisi ini hanya mengharuskan kita untuk lebih memahami makna dari puisi tersebut, bukan tanda – tanda bacanya. Sedangkan makna dari puisi diatas adalah bahwa kita sebagai umat manusia telah ditegur Tuhan melalui orang – orang yang ada di sekitar kita dan melalui berbagai macam perantara. Contohnya saja pada kalimat “Tuhan telah menegurmu”.
”dengan cukup sopan lewat perut anak-anak yang kelaparan” atau pada kalimat ”Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan Lewat semayup suara adzan”. Jadi teguran Tuhan disini melalui kejadian – kejadian yang ada di sekitar kita dan kita diminta untuk memahami apa yang sedang terjadi dengan dunia ini.
Tuhan murka walau menyayangi umatnya sehingga Tuhan hanya menegur umatnya secara halus tetapi umatnya tetap tidak menanggapinya sehingga Tuhan memberi teguran yang lebih keras. Sekarang umatnya bingung. Penyair menyatakan teguran sopan Tuhan melalui banyaknya kelaparan dan lewat azan. Dan Tuhan dapat menegur lebih keras berupa bencana-bencana alam.
Gadis Peminta – Minta
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang,tanpa jiwa
Ingin aku ikut,gadis kcil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kamayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air koto; tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Klau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda
Toto Soedarto Bachtiar
(Dari kumpulan puisi ”Suara”)
Setiap gadis berkaleng itu selalu tersenyum walaupun ia mempunyai duka. Dia ingin membantunya agar gadis itu mempunyai kehidupan yang layak. Gadis yang masih kecil itu harus menanggung hidup yang sedemikian berat, jiwanya terlalu murni untuk berbagi duka. Jika gadis itu meninggal, tidak ada lagi kecerian yang ia tunjukkan.
Puisi ini menunjukkan kedukaan dan keharuan penyair terhadap pengemis di Jakarta, wlaupun memiliki martabat tinggi tetapi hidupnya terlunta-lunta dan tidak berdaya.
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Sapardi Djoko Damono
(Dari kumpulan puisi” Hujan Bulan Juni)
Cinta sejati itu tidak perlu dinyatakan dalam kata- kata yang berbuga- bunga atau disertai dengan janji yang berlebihan. Cinta sejati kadang bersifat misterius. Cinta antara kedua makhluk itu begitu sederhana dan lulus bersatu.
Cinta sejati juga tidak perlu isyarat-isyarat. Hati kedua insan yang saling bertaut dan membuat keduanya lebur dan musnah bersama serta setelah keduanya menyatu akhirnya mereka siap dalam ketiadaan.
Penyair ingin menyampaikan betapa indahnya cinta sejati walau tidak terucap dan tidak ada janji semu belaka. Yang ada hanya ketulusan dalam hati yang menerima apa adanya.
Nyanyian Senja
Pernah tertulis- lagu
Ini, dulu sekali
Tentang aquarel
Tentang api dan
Harapan
Tidak setapak pun- jalan
Surut, bunda
Dengan tulus
Dengan cinta
Kuterima:
Kehitaman karma
Rita Oetoro
Kenangan indah di masa lalu selalu membekas dalam ingatan walaupun sudah tua renta, tetapi kenangan indah itu pula lah yang membuat nasib kadang menjadi tak menentu dan akhirnya hanya ada kegagalan di masa depan.
Penyair ingin menyampaikan perasaannya yang terlalu bahagia di masa lalu hingga saat ini masih tersimpan dalam ingatan, walaupn semua harapan di masa lalu itu gagal dan harus menerima nasib dengan pasrah tulus semua kesedihan oleh sikap di masa lalu yang kurang baik.
Ibuku
Ibu suka membacakan buku untuk menghantar tidurku
Aku terbuai mendengarkan ibu dan buku, mendengarkan
Ibuku, sambil membayangkan dan bertanya ini itu
Aku pun terlelap dalam mimpi,terbang ke tempat-tempat
Yang belum ku kenali. Ketika bangun, kurasakan basah
Dicelana. Wah, beta telah ngompol dalam dekapan bunda.
Bila aku pamit sekolah, ibu tak pernah bilang jangan nakal
dan bodoh, Jangan membantah guru dan menyanggah buku.
Ibu hanya mengecup jidatku : Buka hidupmu dengan buku.
Pada saatnya beta harus meninggalkan bunda sebab tak bisa
selamanya menyusu pada ibu. Aku harus mencari susu baru
sambil menahan air mata, ibu memeluk dan menciumku.
Pergilah. Terbanglah. Aku pun terbang bersayapkan buku
ke antah-berantah yang bagiku sendiri masih entah
ketika suatu saat aku pulang kerumah ibu,
ibu sudah menjadi buku yang tersimpan manis dirak buku.
Joko Pinurbo
Puisi berjudul Ibuku ini menceritakan tentang kisah seorang anak bersama ibunya. Dimana anak tersebut semasa kecilnya sering dibacakan sebuah dongeng oleh ibunya untuk menghantarkan ridurnya. Semasa sekolah dulu, anak tersebut mendapatkan dorongan dari ibunya agar ia selalu bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu. Kini anak tersebut telah pergi meninggalkan sang ibu demi melanjutkan pendidikannya Ia tak ingin jika dalam kehidupannya ia selalu bergantung kepada sang ibu.
1. Jika dilihat dari segi bahasa (Stilistika)
Bahasa yang digunakan oleh penyair dalam puisi ini merupakan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca. Sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami isi dan maksud yang terkandung dalam puisi tersebut.
2. Jika dilihat dari segi Tanda (Semiotk)
Dalam puisi ini, penulis tidak banyak menggunakan unsur tanda. Dalam pemisahan antara syair pertama dan syair-syair berikutnya menggunakan tanda titik ( . ) , koma ( , ) , dan titik dua ( : ).
* Puisi ini menurut saya merupakan puisi bebas, karena tidak terikat oleh baris, bait dan rima.
Novel : “Perempuan Mencari Tuhan”
SINOPSIS :
Novel berjudul “ Perempuan Mencari Tuhan “ adalah sebuah novel yang menceritakan kisah tiga orang saudara. Mereka adalah Laksma , Clara , dan Zahra. Laksma adalah anak tertua. Sedangkan Clara adalah anak kedua yang dimana dia menderita sebuah penyakit parah. Zahra sebagai adiknya sangat dekat dan akrab dengan Clara. Ia bahkan selalu ada dimanapun Clara ada. Sementara itu, Laksma sang kakak justru sering membentak-bentak Clara. Bahkan ia menyuruh Clara untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah setiap hari. Semenjak saat itulah Clara sering jatuh sakit. Sampai pada akhirnya ketika sudah beranjak remaja penyakitnya semakin parah dan ia dirawat di rumah sakit. Sewaktu di rumah sakit, bukan Zahra yang menemaninya melainkan Laksma. Seorang kakak yang selalu merasa bahwa Penyakit Claralah yang menghabiskan uang keluarganya. Sebab biaya berobat Clara tidaklah murah. Sehingga demi membantu ibunya, Laksma terpaksa harus bekerja di sebuah toko. Sedangkan ayah mereka sudah lama sekali meninggal. Sampai pada suatu hari, Clara yang sudah berusia tiga belas tahun itu meninggal dunia. Di ruangan tempat Clara meninggal hanya ada Laksma. Zahra tak ada di tempat itu sebab ia harus berangkat ke sekolah. Sementara ibunya baru datang ketika nyawa Clara sudah tidak ada. Hanya Laksma yang melihat Clara menghembuskan nafas terakhirnya dan sekaligus melepas kepergiannya. Saat itu setelah Clara meninggal, Laksma menuliskan tulisan “ CLARA “ di dada Clara.
Ia menulisnya dengan tinta hitam. Ia menulisnya dengan tinta biasa. Namun, alangkah terkejutnya Laksma ketika tulisan itu tak dapat dihapusnya. Sehingga sampai Clara dimakamkanpun tulisan itu masih ada. Kematian Clara membuat keluarganya merasa sangat kehilangan. Dan Zahra sang adik, semenjak kematian Clara ia sering berbicara sendiri di kamar Clara. Ternyata ia sering ditemui oleh Clara. Ia sering menjelaskan kepada keluarganya bahwa Clara sering menemuinya. Namun, Laksma, ibu dan neneknya tak mempercayainya. Mereka menganggap Zahra hanya berhalusinasi saja. Semakin hari Zahra semakin sering didatangi Clara. Bahkan Zahra sering membawakan makanan untuk Clara dan meletakkannya di meja makan yang ada dikamar Clara. Melihat tingkah laku Zahra, ibunya menjadi heran, Ia mengatakan kepada ibunya dan Laksma bahwa Zahra sering berbicara sendiri. Namun, mereka tak percaya. Suatu hari ibunya memutuskan untuk mengubah kamar Clara menjadi sebuah gudang. Zahra menolak untuk mengubah kamar kakaknya menjadi sebuah gudang.
Ia melarang keras ibunya untuk mengubah kamar Clara menjadi gudang. Sebab Clara tak kan mendatanginya lagi jika kamarnya berubah menjadi gudang. Clara tak menyukai ruangan yang penat dan kotor. Demi mempertahankan kamar itu Zahra rela melakukan apa saja yang diperintahkan oleh ibunya. Asalkan ibunya memenuhi kemauannya untuk tidak mengubah kamar tersebut menjadi gudang.
Semakin lama tingkah Zahra semakin menjadi-jadi hingga ibunya memutuskan untuk membawanya ke seorang psikiater. Ia khawatir kalau Zahra mengalami gangguan jiwa. Zahra menolak untuk dibawa ke psikiater dan ia mencoba meyakinkan ibunya bahwa dirinya baik-baik saja. Namun sang ibu tetap ingin membawanya ke psikiater. Akhirnya Zahra hanya bisa pasrah. Ia menerima ajakan ibunya ke psikiater. Sesampainya ditempat psikiater itu, Zahra sangat terkejut ketika melihat wajah dan senyum psikiater itu yang sangat mirip dengan Clara.
Beberapa tahun kemudian Zahra semakin bartambah usia dan ia tumbuh menjadi seorang remaja. Dia kini telah duduk di kelas dua SMU. Akan tetapi ia masih sering dikunjungi oleh Clara. Ia selalu mencoba meyakinkan keluarganya namun tak pernah ada yang mempercayainya. Ibunyapun masih tetap pada keinginannya untuk mengubah kamar Clara menjadi gudang. Berkali-kali Zahra melarangnya namun tak pernah berhasil. Sampai pada akhirnya setelah kamar Clara diubah menjadi gudang, Clara tak pernah lagi mendatanginya.
Hingga suatu hari Zahra memutuskan untuk melanjutkan kuliah di kota provinsi. Ibunya melarangnya namun ia tetap ingin ke kota propinsi walaupun tanpa restu ibunya. Sampai-sampai ibunya berjanji dan mengancam Zahra untuk tidak akan pernah membiayai kuliah Zahra.
Akan tetapi Zahra tidak merasa takut dengan ancaman ibunya. Ia tetap pergi menuju kota propinsi. Sesampainya di kota yang dituju, ia tinggal di sebuah asrama. Dan saat memasuki kamarnya di asrama, ia sangat terkejut melihat kamarnya yang sangat mirip dengan kamar Clara. Suatu saat ibu asrama membawakan segelas susu untuk Zahra. Dan Zahra kaget melihat gelas yang dibawa oleh ibu asrama yang juga sama dengan gelas Clara. Bahkan aroma obat-obatan yang melekat pada gelas Clara juga ada pada gelas yang diberikan oleh ibu asrama tersebut. Lalu ibu asrama mengatakan kepada Zahra bahwa sehari sebelum Zahra tiba di asrama ada seorang wanita yang memberikan gelas itu kepadanya yang dititipkan untuk Zahra. Zahrapun menerimanya dan ia masih tak percaya dengan apa yang di alaminya.
Pada suatu malam Clara mendatanginya di kamarnya. Mereka bercakap-cakap dan Clara menjelaskan bahwa kamar yang ditempati oleh Zahra adalah kamar Clara sewaktu dirumah. Pada suatu hari nenek Zahra datang ke asrama untuk mengunjungi Zahra. Setelah masuk ke kamar Zahra neneknya juga sangat terkejut melihat kamar Zahra yang sama persis dengan kamar Clara. Bahkan gelasnya juga sama. Suatu saat neneknya mengatakan kepada Zahra bahwa gelas Clara masih ada di rumahnya dan masih tetap terletak di dapur. Ia juga mengatakan kalau ibunya Zahra sangat merindukannya serta merasa bersalah kepada Zahra. Setelah beberapa tahun Zahra menikah dengan Bayu. Awalnya Zahra menolak untuk menjadi istri Bayu. Akan tetapi Clara memaksa Zahra untuk memerima Bayu menjadi suaminya. Hingga pada saatnya Bayu dan Zahra menikah dan mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik dan anehnya anak Zahra tersebut di dadanya ada tulisan “ Clara “.
Sedangkan wajah anak itu sangat mirip dengan Clara. Keluarga Zahra sangat menyayangi anak tersebut yang kemudian diberi nama Ganet. Bahkan ibu Zahra sering memanggil Ganet dengan sebutan Clara. Sejak kelahiran Ganet muncul beberapa keganjalan di hati Zahra. Diantaranya terteranya nama Clara di dada Ganet, keanehan ibunya menyebut Ganet sebagai Clara saat menimangnya, dan masih banyak lagi keanehan-keanehan lain. Pada saat Ganet berusia empat bulan ia dapat berbicara dengan lancar bahkan ia dapat mengetahui segala kejadian yang akan terjadi. Apa yang ada dalam diri Ganet sangatlah membuat Zahra dan keluarganya sangat tak percaya. Menginjak usia tujuh tahun, Ganet sudah duduk di bangku SD. Kelebihannya meramalkan peristiwa yang akan terjadi masih ada dalam dirinya.
Namun, hal itu justru membuat Zahra merasa tidak suka. Zahra tidak senang akan kelebihan anaknya yang bisa meramalkan peristiwa. Sebab setiap ramalan Ganet adalah sebuah peristiwa yang tidak mengenakkan. Bahkan berujung kematian. Semakin lama Zahra dapat menerima kelebiha Ganet. Ia hanya bisa pasrah. Enam tahun kemudian Ganet semakin bertambah dewasa. Usianya sudah menginjak 13 tahun. Dan di usianya tersebut ia masih saja memiliki kelebihannya, yaitu meramalkan peristiwa yang akan terjadi. Pada suatu ketika Ganet melihat dalam pikirannya bahwa di ibu kota akan ada hujan lebat yang disertai badai yang akan mengubah ibu kota menjadi lautan dan mematikan ribuan penduduknya. Sampai pada suatu ketika hujan yang disertai badai itu benar-benar terjadi. Semua apa yang dikatakan oleh Ganet benar-benar terjadi. Suatu ketika Ganet jatuh pingsan. Iapun dibawa ke rumah sakit oleh Zahra dan juga Laksma. Di rumah sakit Ganet hanya terbaring sambil menyebut-nyebut “ Tuhan “.
Disaat ia terbaring itulah, ia memasuki alam mimpinya. Ia bermimpi mencari-cari Tuhan. Dan ia dibawa oleh Clara untuk mencari Tuhan dengan menaiki sebuah kapal pesiar yang besar dan megah. Sampai suatu ketika kapal tersebut dihantam oleh seekor ikan raksasa dan pada akhirnya kapal itu hancur. Ganetpun terpental dan meleyang ke udara sampai akhirnya ia jatuh di atas papan bekas pecahan kapal pesiar yang ia tumpangi, dan alangkah terkejutnya Ganet melihat papan tersebut didorong oleh ikan raksasa dan akhirnya Ganet kembali terpental dan melayang sampai pada akhirnya ia jatuh tepat di atas mulut ikan raksasa. Anehnya ikan raksasa itu bisa berbicara dan ia mengatakan bahwa dirinya adalah ikan yang menelan Yunus. Ia juga berkata kepada Ganet bahwa Ganet harus bersedia dimakan olehnya jika ia ingin bertemu dengan Tuhan. Sampai beberapa menit kemudian Ganet yang terbaring di rumah sakit masih menyebut Tuhan dan ia juga memohon ampun kepada Tuhan. Sampai pada akhirnya ia meninggal dunia. Kematiannya adalah kematian yang indah. Dan sampai ia meninggal masih tersisa pertanyaan apakah benar Ganet adalah reinkarnasi Clara.
KOMENTAR :
Unsur Intrinsik :
1). Tema
Tema novel Perempuan Mencari Tuhan adalah kekeluargaan, yang menitik beratkan pada persaudaraan.
2). Amanat
Amanat yang terkandung dalam novel Perempuan Mencari Tuhan adalah bahwa kita harus selalu percaya kepada Tuhan dan segala apa yang terjadi di dunia merupakan kehendak Tuhan.
3). Alur/plot
Alur yang digunakan adalah alur maju karena diawali dengan sebab. Dalam hal ini adalah adanya garis keturunan antara Clara dan Ganet. Sedangkan sebagai akibatnya adalah adanya kemiripan sikap dan fisik antara Clara dan Ganet.
4). Penokohan
a) Pelaku, terdiri dari Clara, Ganet (tokoh utama), Laksma, Zahra , Bayu, Ibu Clara, dan Nenek.
b) Watak/karakter
Clara , memiliki karakter yang lembut.
Ganet , berkarakter lembut dan keras kepala.
Zahra , memiliki sikap pasrah dan keras kepala.
Laksma , memiliki sikap keras, karena ia sering membentak-bentak Clara
5). Seting
* Tempat : peristiwa dalam cerita lebih sering terjadi didalam rumah.
6). Sudut Pandang
Dalam novel ini pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga.
Novel ini berisi tentang agama dan moral. Jika dilihat dari segi agama, amanat yang terkandung dalam novel ini adalah bahwa kita sebagai umat manusia harus selalu senantiasa percaya kepada Tuhan. Dan jika dilihat dari segi moral, amanat yang terkandung dalam novel ini adalah bahwa seseorang yang sudah meninggal tidak mungkin dapat kembali lagi kedunia.
Novel : “Salah Pilih”
SINOPSIS :
Novel berjudul “ Salah Pilih “ ini isinya menceritakan tentang kisah cinta seorang perempuan yang bernama Asnah dengan pemuda bernama Asri. Mereka adalah saudara namun tak sekandung. Sejak kecil Asnah dan Asri dibesarkan layaknya sebagai saudara kandung. Ibu Asri yang telah menjanda mengasuh dan menyayangi Asnah yang telah diangkatnya seperti putri kandungnya sendiri. Asnah dan Asri saling mengasihi satu sama lain, sampai tiba waktunya mereka beranjak dewasa.
Asri adalah seorang pemuda terpelajar. Pada suatu ketika ia hendak dijodohkan dengan gadis cantik yang berasal dari keluarga kaya dan terpandang yang bernama Saniah. Ia juga merupakan gadis yang terpelajar. Dan karena kelebihan yang dimilikinya itu iapun menjadi orang yang sombong. Sebenarnya Asri tidak mencintai Saniah. Ia hanya mengikuti kehendak ibunya saja. Pada suatu hari Asnah dan ibunya beserta kerabatnya berkunjung kerumah Saniah untuk membicarakan perihal pernikahan Asri dengan Saniah. Namun dirumah Saniah, Asnah justru dihina oleh Saniah yang sombong itu. Ia berkata bahwa Asnah hanyalah anak seorang babu, yang mendapat keberuntungan diangkat menjadi anak oleh ibunda Asri. Bahkan ia juga mengatakan bahwa Asnah hanya akan menguasai harta kekayaan yang dimiliki oleh keluarga Asri. Dengan adanya kejadian itu, Asnahpun tau bahwa Saniah hanya menginginkan harta Asri. Dan ia juga menduga bahwa Asri akan dikuasai oleh Saniah.
Beberapa minggu kemudian, Asri pulang dari Jakarta dan ia segera melamar Saniah. Namun, pada saat suatu ketika Asri datang kerumah Saniah, ia justru tak melihat Saniah. Rupanya Saniah yang sudah menjadi tunangannya justru tak menemuinya. Sehingga ia merasa kecewa dengan sikap tunangannya tersebut. Pada suatu ketika, Asnah sedang membicarakan perihal sifat dan kelakuan Saniah kepada ibunya. Pada saat keduanya sedang berbincang-bincang, tiba-tiba datanglah Asri. Ia terkejut ketika melihat Asnah yang muram. Namun, dengan cepat Asnah mengubah wajahnya yang muram itu dengan keceriaannya. Sebab, ia tak ingin membuat Asri sedih. Ia juga tak ingin jika Asri mengetahui sifat asli calon istrinya. Sebab jika Asri mengetahuinya ia pasti akan kecewa dan bisa saja mengurungkan niatnya untuk menikahi Saniah.
Beberapa pekan kemudian, tibalah waktunya untuk Asri dan Saniah menikah. Setelah menikah mereka tinggal di rumah gedang milik keluarga Asri. Awalnya Saniah tak mau tinggal di rumah gedang itu. Namun, berkat bujukan Asri akhirnya ia bersedia. Di rumah gedang itu, Saniah dan Asri tinggal bersama Asnah, Liah dan juga ibunda Asri. Seperti yang dikhawatirkan, Saniahpun tak suka dengan keberadaan Asnah di rumah gedang itu. Ia sering menghina Asnah, bahkan setiap hari Asnah disuruhnya untuk mengerjakan seluruh pekerjaan rumah. Jika Asri berada di rumah Saniah berpura-pura baik kepada Asnah. Namun, jika Asri bekerja ia selalu memperbudak Asnah. Suatu ketika Saniah mengadu kepada Asri bahwa keberadaan Asnah hanya akan membuatnya tidak senang. Ia juga berkata kepada Asri bahwa Asnah tidak pantas tinggal di rumah gedang itu, sebab ia hanya keturunan seorang babu yang kini sudah menjadi yatim piatu.
Mendengar istrinya menjelekkan Asnah, Asripun marah dan kemudian menegur istrinya dengan emosi bahwa dia tidak pantas memperlakukan Asnah dengan seenaknya. Ia juga mengatakan kepada istrinya bahwa sesungguhnya Asnahlah yang lebih pantas untuk dihormati daripada dirinya. Lalu Saniah marah dan ia hanya bisa diam dengan menyimpan dendam kepada Asnah yang di anggapnya sudah merebut hati suaminya. Suatu malam Asri dan keluarganya makan malam bersama dirumah gedang. Namun, Saniah hanya berdiam diri dikamarnya. Ia tak mau makan bersama keluarga Asri. Dalam adat yang dianut oleh keluarganya, tak baik jika seorang laki-laki berhubungan terlalu dekat dengan perempuan yang masih saudaranya.
Sehingga ia tak suka melihat Asri terlalu dekat dengan Asnah. Kemudian setelah selesai makan Asnahpun mengantarkan makanan kekamar Saniah. Dan Saniah bukannya menyambut baik Asnah, ia justru kembali mencaci-maki Asnah. Akan tetapi Asnah menghadapinya dengan hati yang sabar. Semakin lama Asnah merasakan perasaan yang lebih kepada Asri, Ia merasa bahwa sebenarnya ia cinta kepada Asri. Sejak awal ia memang sedih dengan adanya Asri menikahi Saniah. Suatu hari antara Asri dan Saniah terjadi sebuah pertengkaran yang disebabkan oleh ketidaksukaan Saniah akan keberadaan Asnah dirumah gedang.
Namun, Asri masih saja membela Asnah daripada Saniah, istrinya sendiri. Beberapa hari kemudian ibunda Asri dan Asnah, Mariati jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Di rumah sakit keadaan Mariati bukannya bertambah lebih baik, ia justru semakin bertambah parah. Rupanya ia sudah dekat dengan ajalnya, dan pada hari kamis ia meninggal dunia. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Mariati menyatakan penyesalannya kepada Asri karena memaksanya menikah dengan Saniah. Ia menyesal karena ia tak memberi kesempatan kepada Asri untuk memilih sendiri pasangan hidupnya. Sebab ternyata Saniah tak sebaik yang diharapkannya. Ia juga meminta kepada Asri untuk selalu menjaga Asnah dan agar Asnah tetap tinggal di rumah gedang untuk selama-lamanya.
Selain itu, Mariati juga mengatakan kepada Asri bahwa alangkah bahagianya jika Asri menikah dengan Asnah. Sebab Asnah bukanlah anak kandungnya. Jadi sah-sah saja jika ia menikah dengan Asnah. Melihat mertuanya meninggal, Saniah bukannya bersedih, ia justru tampak bahagia. Sebab ia dapat dengan mudah menguasai rumah gedang dan dapat secepatnya mengusir Asnah dan juga Malliah. Akan tetapi usahanya untuk mengusir Asnah dan Liah selalu gagal. Sebab suaminya selalu menentangnya keras-keras jika ia berniat mengusir Asnah dan Liah. Semakin lama Saniah tidak suka dengan sikap suaminya yang lebih mementingkan Asnah dan juga Liah. Hingga ia memutuskan untuk pulang kerumah orang tuanya. Di rumahnya Saniah menceritakan semuanya kepada ibunya yang juga memiliki sifat yang sombong. Iapun marah karena merasa derajatnya direndahkan.
Akhirnya ia menyuruh Saniah agar meminta cerai kepada Asri. Dan pada suatu hari Saniah beserta ibunya dan pembantunya pergi ke padang dengan mengendarai oto taksi. Di perjalanan menuju Pada taksi yang mereka tumpangi tergelincir ke sebuah sungai yang kering. Saniah dan ibunya meninggal dunia sedangkan sopir taksi dan pembantunya selamat. Setelah kematian Saniah, Asri menjadi duda. Sedangkan keluarga Saniah semakin akrab dengannya. Sebab dulunya ibunda Saniah melarang keras keluarganya untuk terlalu menyayangi Asri sebagai anak. Asripun menyerahkan semua harta istrinya kepada keluarga Saniah. Dan beberapa bulan kemudian Asri menikah juga dengan Asnah, adik angkatnya. Mereka menjadi pasangan yang bahagia dan mereka berencana memajukan negerinya setelah Asri diangkat menjadi kepala negeri.
KOMENTAR :
Dalam novel ini mengandung nilai kebudayaan. Bahasa yang digunakan oleh penulis agak sulit dipahami. Namun pada akhirnya dapat dimengerti. Amanat yang terkandung dalam novel ini adalah bahwa manusia harus berhati-hati dalam memilih pasangan hidupnya. Pernikahan bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan mainan. Dan harta benda tidak sepenuhnya memberikan kebahagiaan.
Maka dari itu bisa kita simpulkan dari novel “salah pilih” ini, harus selalu waspada terhadap apa-apa yang sudah kita pilih. Baik dalam hal istri maupun yang lainnya.
Novel : “ Istri Untuk Putraku “
SINOPSIS :
Novel berjudul “ Istri Untuk Putraku “ menceritakan tentang kehidupan seorang gadis bernama Fatiha. Dia dipaksa kawin oleh orang tuanya dengan lelaki yang tak dikenalnya. Pada suatu hari Fatiha tengah berada didalam taksi melintasi kota. Ia merasa seperti dikendalikan oleh kekuatan yang tak dikenal. Seperti orang berjalan sambil tidur yang tak menghiraukan keinginan dan harapannya sendiri. Pada saat itu Fatiha masih berusia sangat muda. Ia dipaksa kawin dengan lelaki yang belum ia kenal sebelumnya.
Lelaki itu bernama Husein. Dia adalah anak sulung dari keluarga Amor. Husein adalah seorang pekerja bangunan di Paris yang usianya jauh lebih tua dari Fatiha. Semenjak upacara pernikahannya, Fatiha hanya diam. Dia sebenarnya tidak ingin menikah karena ia masih ingin meneruskan sekolahnya hingga menjadi seorang guru. Pada saat itu banyak yang mencoba menghibur Fatiha. Namun, ia tetap saja larut dalam kesedihannya. Fatiha adalah gadis yang lugu dan sederhana. Ia tidak ingin muncul dihadapan suaminya untuk pertama kali dangan didandani ala pengantin.
Hourie, ibu Fatiha merasa heran melihat anak gadisnya yang biasanya lincah dan ceria tetapi disaat pernikahannya justru menjadi seorang pendiam. Sebenarnya Fatiha belum siap untuk menjadi seorang istri. Namun, ia tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya. Kesedihan Fatiha saat itu disebabkan karena ia tidak suka kawin dengan cara seperti itu. Ia tidak mau hidup seperti ibu-ibu yang hanya terkurung di rumah. Ia ingin bekerja. Menurutnya keputusan orang tuanya untuk menikahkannya adalah sebuah keputusan yang seperti zaman kuno.
Pada saat pesta perkawinannya, Nyonya Suissi guru Fatiha datang ke acara itu. Mereka saling memandang dan mengenang. Sebetulya Nyonya Suissi tau isi hati Fatiha. Ia tau bahwa sebenarnya Fatiha masih ingin sekolah dan menjadi guru seperti dirinya. Namun, ia tak dapat berbuat apa-apa untuk Fatiha. Sesuai dengan tradisi, Husein sebagai calon suami Fatiha memakai jubah putih melapisi pakaiannya. Sementara Fatiha tengah menantinya di kamar. Kemudian Husein memasuki kamar Fatiha dan sejenak berdiri di depan pintu dan memandang Fatiha. Namun, Fatiha hanya menunduk hampir-hampir tidak melihat suaminya.
Di malam itu Husein membuat Fatiha menjadi seorang wanita dengan cara merenggut keperawanan Fatiha. Fatiha berusaha melepaskan diri namun tak bisa. Gadis itu tak mempunyai hasrat terhadap Husein dan begitu pula sebaliknya. Semenjak ditinggalkan oleh kedua orangtuanya di keluarga Husein. Fatiha tetap saja terdiam. Pada saat malam pertamanya ia tinggal di keluarga Husein. Ia justru sendiri di kamarnya. Husein sebagai suaminya justru pergi bersama teman-temannya untuk bersenang-senang sambil minum bir. Dan Fatiha tidak suka dengan alkohol. Di keluarganya alkohol berarti ketidakbahagiaan dan kehancuran. Selama tinggal di rumah suaminya Fatiha tak sedikitpun merasakan kebahagiaan. Setiap hari ia hanya berada di lingkungan sekitar rumah. Kegiatan yang dilakukannya sehari-hari hanyalah memasak, membereskan rumah, menyiram tanaman, dan istirahat.
Ia bahkan tak pernah keluar rumah. Sebab, ia harus mengenakan cadar yang amat dibencinya bila ia ingin keluar rumah. Seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya Fatiha mulai mengenal keluarga Husein. Namun, ia tetap bersifat dingin terhadap Husein. Pada suatu hari Husein mengajak Fatiha untuk membeli sepatu. Sebelumnya Husein menginginkan agar Fatiha mengenakan cadar pemberian ibunya. Tetapi Fatiha menolak mengenakan cadar itu. Huseinpun marah dan memaksa Fatiha untuk tetap mengenakan cadar. Lalu akhirnya Fatiha mau mengenakan cadar itu, dan mereka pergi ke toko untuk membeli sepatu.
Suatu hari ketika Fatiha sedang membuat kue di dapur datanglah Aisyah mertuanya dan bertanya apakah Fatiha sudah datang bulan ataukah belum. Mendengar pertanyaan itu Fatiha marah dan berkata pada mertuanya dengan nada keras bahwa hal itu adalah urusan pribadinya. Disaat itu pula Husein mendengar perkataan Fatiha terhadap ibunya dan ia menampar Fatiha hingga Fatiha menangis. Padahal Husein tidak tau apa permasalahan di antara Fatiha dan ibunya. Setelah mengetahui bahwa istrinya sedang mengandung, Husein berubah sifat. Ia tidak sekasar sewaktu ia belum mengetahui kehamilan istrinya. Pada suatu ketika Husein berkeliling kota Aljazair untuk mencari pekerjaan. Namun, tak satupun pekerjaan yang ia dapat.
Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Paris melanjutkan pekerjaannya sebagai pekerja bangunan. Mendengar bahwa suaminya akan kembali ke Paris, Fatihapun meminta kepada Huseia agar ia dapat ikut ke Paris. Namun Husein melarangnya untuk ikut bersamanya. Sebab saat itu Fatiha sedang hamil dan kehidupan di Paris sungguh tidak menjanjikan bagi Fatiha. Pada suatu pagi ahirnya Husein berangkat ke Paris. Fatiha sebagai seorang istri menangis melihat sang suami pergi meninggalkan dirinya bersama keluarga yang masih asing baginya.
Semenjak kepergian suaminya ke Paris Fatiha hanya sering menyendiri di kamar. Akan tetapi, semakin lama ia semakin akrab dengan Alloua dan Nerine. Mereka berdua adalah adik kandung Husein. Pada suatu malam ketika sedang tidur tiba-tiba perut Fatiha terasa sakit. Sehingga pada pagi harinya ia harus dibawa ke bidan untuk pemeriksaan. Menurut bidan yang memeriksa kandungan Fatiha, kondisi Fatiha dan bayi dalam kandungannya baik-baik saja. Namun, Aisyah menginginkan agar Fatiha benar-benar sembuh. Sehingga pada ahirnya Fatiha harus opname selama beberapa hari di rumah sakit.
Selama di rumah sakit ada 4 orang yang sering datang mengunjungi Fatiha dan berbincang-bincang bersama Fatiha. Mereka adalah Leila, Zahra, Fatouma, dan Noura. Yang dimana mereka sama-sama pasien di rumah sakit tempat Fatiha dirawat. Dengan adanya keempat pasien tersebut Fatiha tidak merasakan kebosanan di rumah sakit dan ia dapat melupakan semua permasalahan yang menimpanya. Selama masa kehamilannya Fatiha begitu tak memperhatikan kondisi kandungannya. Ia masih sering melakukan aktivitas sehingga pada suatu hari ia kembali jatuh sakit. Dan pada saat ia di rawat di rumah sakit ternyata ia melahirkan seorang bayi perempuan. Dan di beri nama Noura. Fatiha sangat menyayangi buah hatinya tersebut. Namun, tidak untuk Husein dan ayahnya. Mereka justru menginginkan Fatiha dan anaknya untuk pergi dari rumah mereka. Sebab, mereka hanya menginginkan seorang bayi laki-laki dari Fatiha.
Pada akhirnya Fatiha bersama anaknya pergi meninggalkan rumah Husein dan mertuanya. Dan tinggallah ia bersama orang tua kandungnya dengan di temani sang anak yang amat disayanginya.
KOMENTAR :
Isi dan tema dari novel berjudul “ Istri Untuk Putraku “ ini mudah di pahami. Dimana tema dari novel ini adalah kehidupan. Terutama kehidupan berumah tangga. Amanat yang terkandung dalam novel ini adalah bahwa kita tidak boleh memaksakan kehendak kepada seseorang apabila seseorang tersebut benar-benar tidak sanggup dan apabila kita ingin membangun sebuah kehidupan baru dengan seseorang sebelumnya kita harus saling mengenal secara mendalam agar kita tidak terjerumus ke dalam sebuah ketidakcocokan yang akan membuat kita tidak bahagia. Sedangkan, gaya bahasa yang digunakan oleh penulis menggunakan gaya bahasa dengan penuturan yang mudah dimengerti oleh para pembaca.
Novel : Di Atas Puing-Puing
SINOPSIS :
Novel yang berjudul “ Di Atas Puing-Puing “ menceritakan tentang kehidupan rumah tangga seorang wanita bernama Arini. Dimana dalam kehidupan bersama suaminya hadirlah orang ketiga bernama Retno yang tak lain adalah murid dari suaminya sendiri.
Pada mulanya hubungan Rini dan suaminya baik-baik saja. Namun, Rini merasa ada sebuah perubahan pada suaminya. Sebab ia selalu pulang larut malam. Rini dan suaminya mempunyai tiga orang anak yaitu Ita, Iwan dan Neni. Pada suatu hari ketika musim liburan sekolah, Rini membawa anak-anaknya berkunjung kerumah Bibinya di kampung. Disitu Rini mencurahkan segala keluh kesah permasalahan bersama suaminya kepada sang Bibi. Suatu ketika saat Rini sedang memandikan anak-anaknya di pancuran, datanglah Hendra. Lelaki yang mencintai Rini. Hendra datang kerumah Bibinya sengaja untuk bertemu dengan Rini. Ia masih mengharapkan cinta Rini walaupun ia tau bahwa Rini sudah bersuami dan memiliki tiga orang anak. Disitu Hendra berusaha meyakinkan Rini atas perasaannya.
Namun, Rini berusaha untuk tidak memperdulikannya. Sebab ia sadar bahwa ia masih ada yang memiliki. Beberapa hari kemudian Rini dan anak-anaknya kembali ke kota. Sesampainya dikota ia kembali dihadapkan pada persoalan yang sama, yaitu antara dirinya, suaminya, Hendra dan Retno. Ia masih dirundung rasa cemburu terhadap Retno. Padahal ia sadar bahwa Retno berusia jauh lebih muda dari dirinya. Keadaan saat itu masih seperti dulu, suaminya jarang pulang kerumah. Dan ketika ia pulang ia justru membawa Retno yang amat dibenci oleh Rini. Dirumahnya mereka saling mengintrospeksi diri. Rini bertanya kepada Hardi suaminya mengapa hubungan rumah tangga mereka harus retak. Mengapa keretakan menghampiri kehidupan rumah tangga mereka.
Kemudian suami Rini kembali pergi dan tak lama kemudian datanglah Hendra. Ia datang kerumah Rini bermaksud ingin mengajaknya pergi ke Jakarta. Dan Rinipun menerima ajakan Hendra. Mereka pergi bersama Neni anak Rini. Kepergian mereka tidak diketahui oleh Hardi, orangtua Rini dan juga mertuanya. Di Jakarta, Hendra kembali meyakinkan Rini bahwa ia bena-benar mencintainya dengan sepenuh hati. Rinipun pada akhirnya menerima cinta Hendra.
Namun, keputusannya menerima cinta Hendra hanya untuk membuat Hendra senang. Ia ragu-ragu terhadap cinta hendra sebab ia tak ingin merasakan hal yang sama dengan suaminya untuk yang keduakalinya. Suatu hari orangtua Rini menelpon dan ia memberitahukan bahwa Iwan anaknya telah jatuh sakit dan dirawat di rumahsakit. Iwan menderita sakit kemungkinan karena rindu kepada ibunya. Mendengar berita tersebut Rinipun tak sanggup menahan tangis dan tak lama kemudian iapun bergegas untuk segera pulang kerumahnya dan ia tak sabar untuk menjenguk Iwan di rumahsakit.
Lalu pada akhirnya ia pulang bersama Hendra. Sesampainya di rumahsakit ia langsung memeluk anaknya, Iwan untuk melepaskan rasa penyesalanya karena telah meninggalkannya ke Jakarta. Disitu ada orang tua Rini dan juga Hardi. Hendra meminta maaf kepada mereka sebab ia telah membawa Rini dan juga Neni ke Jakarta tanpa sepengetahuan mereka. Rini yang pada saat itu sedang menangis meminta kepada Hardi agar ia dapat membawa Iwan dan merawat serta mendidiknya dengan penuh kasih sayang seorang ibu.
Beberapa hari setelah Iwan sembuh dan dibawa pulang oleh Rini kerumahnya, datanglah Hardi bersama Ita anaknya. Disitu Ita berkata kepada Rini bahwa Retno telah tinggal bersamanya dan juga ayahnya. Ita juga berkata kepada ibunya bahwa Retno sangat baik kepadanya dan Itapun juga telah senang kepada Retno. Mendengar perkataan anaknya Rinipun merasa kebenciannya kepada Retno semakin bertambah. Ia menganggap Retno juga telah merebut hati anaknya setelah merebut hati suaminya. Lalu Ita kembali berkata kepada ibunya bahwa Retno juga telah baik kepada Iwan selama ia pergi ke Jakarta. Dan Ita bertanya kepada ibunya mengapa ia tak mengajaknya pergi ke Jakarta. Rini sebenarnya ingin menjawab pertanyaan anaknya tersebut. Namun, ia hanya dapat terdiam mendengar kata-kata Ita yang memerihkan hatinya.
Rinipun merasa khawatir apakah Retno akan mencintai anak-anaknya seperti ia mencintai anak kandungnya. Dalam hatinya terselip sifat seorang ibu tiri yang kejam. Lalu pada suatu ketika Hardi datang mengunjungi Rini dan ia memberitahu bahwa Retno beberapa bulan lagi akan melahirkan. Hardi berharap bahwa Rini dapat menunggui ketika Retno melahirkan nanti. Menurut Rini, Hardi begitu tega mengatakan itu padanya. Sebab Retno telah membuat retak rumah tangganya. Selang beberapa hari datanglah seorang pastor menemui Rini yang pada saat itu sedang menyuapi Iwan. Pastor tersebut sudah mengetahui semua permasalahan yang sedang dihadapi oleh Rini. Ia berusaha meyakinkan Rini agar tetap mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Namun, Rini tetap pada pendiriannya untuk berpisah dengan Hardi dan membangun rumah tangga baru dengan Hendra.
Selama ia hidup berumah tangga dengan Hendra ia merasakan sebuah kebahagiaan dan merekapun dikaruniai seorang anak perempuan yang kemudian diberi nama Yasti. Meskipun Rini merasakan bahagia, tetapi masih ada satu permasalahan lain yaitu hubungannya dengan Hendra yang tanpa perkawinan dan tidak sah secara hukum dan juga agama. Ia juga merasa bersalah kepada orangtua Hendra. Sebab ia dulu menolak lamaran Hendra.
Pada suatu hari, Hendra mengalami kecelakaan pesawat. Dan iapun meninggal dunia. Sejak saat itu Rini baru menyadari akan rasa cintanya kepada Hendra. Ia selalu teringat suara Hendra dan sesekali ia juga memimpikannya. Hardi sekali lagi berusaha mengajaknya untuk berdamai. Namun, Arini tetap pada pendiriannya untuk tidak membangun rumah tangga kembali dengan Hardi. Dengan adanya kematian Hendra, Arini merasa bahwa dalam hidupnya permasalah tak kan pernah ada ujungnya.
KOMENTAR :
Dalam novel ini terdapat satu permasalahan. Namun, penguraiannya sangat panjang. Dari novel tersebut kita dapat memetik sebuah pelajaran baru bahwa hidup tak selamanya menyenangkan karena semakin lama semakin banyak permasalahan yang kita hadapi. Dunia semakin terasa sempit akibat bertambahnya manusia dan bertumbuhnya kepandaian manusia. Tetapi kepintaran otak tak boleh di cap sebagai sesuatu yang negatif semata. Sebab, kita salah jika tak menggunakan akal budi anugerah Tuhan. Dan berkat akal budi kita merasa bertanggung jawab terhadap masa depan kita.
NOVEL : Kabut Sepanjang Jalan
Karya : Ketut Sugiartha
Penerbit : Balai Pustaka
SINOPSIS :
Novel berjudul “ Kabut Sepanjang Jalan “ ini berisi cerita tentang kehidupan seorang pria yang berasal dari Bali yang bernama Warsika dalam keluarganya dan juga dalam kisah asmaranya. Karena terpenjara oleh pikiran-pikiran tentang garis hidupnya yang suram, Warsika jadi setengah hati menjalani kencannya dengan Rusmini, pacarnya, di sebuah pantai. Disitu terjadi kesalahpahaman antara Warsika dengan Rusmini. Rusminipun ngambek dan meninggalkan Warsika yang kemudian hanya dapat mengutuki dirinya sebagai orang sakit.
Setelah Warsika kembali ke rumah, pikirannya semakin runyam karena Umbara, kakak laki-lakinya yang menderita suatu kelainan dan disebut gila oleh orang-orang sekitarnya, dan tak jarang ia juga kerap dipukuli oleh orang. Warsika kehabisan akal untuk menyelamatkan Umbara dari penderitaannya itu, sebab usulnya untuk mengirim Umbara ke Rumah Sakit Jiwa selalu ditolak oleh ibunya dengan alasan yang tak masuk akal, yaitu karena Umbara dianggap sebagai anak anugerah dewa dan tak bisa dipisahkan dengan ibunya.
Namun, ketika malam itu Umbara masuk ke kamar Warsika dan ia mengatakan kalau dirinya siap untuk dikirim ke Rumah Sakit Jiwa. Sedangkan Warsika tidak habis pikir, betulkah kakaknya sudah gila. Teman-teman sekantor Warsika merasa prihatin akan kondisi Umbara, sementara kepala kantornya begitu menaruh perhatian pada hubungan Warsika dengan Rusmini yang sedang dilanda masalah. Warsika sangat berterimakasih atas saran-saran yang diberikan oleh atasannya yang juga masih bujangan.
Ketika Warsika bertekad untuk memperbaiki hubungannya dengan Rusmini, justru terjadi kesalahpahaman yang menyebabkan ia melakukan pemukulan terhadap kakak laki-laki Rusmini. Peristiwa itu membuat batin Warsika tersiksa. Ia jadi sering mengurung diri. Dalam keadaan yang demikian hadirlah Tini, teman sepermainan Warsika semasa kecil yang telah lama terpisah dengannya karena ayahnya pindah tugas ke Kupang.
Tini adalah sepupu Warsika yang kembali karena tugasnya sebagai perawat. Kehadirannya membuat Warsika mampu bangkit dari perasaan malangnya. Pada suatu ketika mereka berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa tempat Umbara di rawat. Mereka mendapati Umbara dalam kondisi babak-belur, Warsika merasa cemas, jangan-jangan apa yang dikatakan oleh ibunya adalah betul, bahwa ibu dan kakaknya tidak bisa dipisahkan. Buktinya, begitu Umbara tinggal di rumah sakit, ibunya pun mendadak sakit. Pikiran Warsika jadi dipenuhi dengan berbagai pertanyaan, dan itu semakin menerornya ketika pada saat Warsika dan Tini pulang mereka mendapati ibunya sudah meninggal.
Sementara itu hubungannya dengan Rusmini semakin Runyam, sebab ketika Rusmini tiba-tiba berkunjung kerumah Warsika dilihatnya Warsika sedang berduaan dengan Tini. Antara Tini dan Warsikapun lantas terjadi kesenjangan sampai kemudian Umbara meninggal. Kematian ibu dan anak yang susul-menyusul itu mendorong ayah Warsika untuk mendatangi seorang sedaan, dan kemudian diketahui bahwa dalam kehidupan yang lalu, Umbara dan ibunya adalah pasangan kembar yang berbahagia, yang selalu ingin berdampingan. Terungkapnya misteri kematian kakak dan ibunya membuat Warsika terbebas dari perasaan bersalah yang pernah menerornya. Namun belum lagi ia sempat menikmati hidupnya, Bancuk, sahabat karib Warsika menikah dengan gadis pujaannya. Hal itu membuatnya merasa sangat kehilangan dan akhirnya Warsika memutuskan untuk memilih Tini sebagai pasangan hidupnya.
KOMENTAR :
Novel ini didalamnya terdapat unsur religi. Sudut pandang yang digunakan oleh pengarang adalah sudut pandang orang pertama dan ketiga. Isi cerita pada novel ini pada awalnya agak sulit untuk dipahami. Akan tetapi setelah membacanya hingga akhir cerita dapat diketahui apa isi cerita dari novel ini. Amanat yang terkandung didalamnya adalah bahwa kita hanya bisa menyerahkan segala permasalahan kita kepada Tuhan, garis keturunan manusia ditentukan juga oleh Tuhan.
Drama : “ Dag Dig Dug “
SINOPSIS :
Drama berjudul “ Dag Dig Dug “ ini bercerita tentang kisah pasangan suami istri yang sudah pensiun dan berpenghasilan dari uang kos-kosan.
Pada babak pertama, pada suatu pagi pasangan suami istri itu menerima kabar kematian ketika mereka hendak sarapan pagi di ruang makan. Mereka mendapat kabar bahwa Chaerul Umam meninggal dunia. Sang suami yang sudah berusia tua dan ingatannya sudah tidak secemerlang waktu masih muda merasa tidak kenal dengan pemuda yang bernama Chaerul Umam. Akan tetapi sang istri berusaha mengingatkan suaminya akan pemuda yang bernama Chaerul Umam tersebut.
Pada suatu ketika disaat suami istri itu sedang membahas tentang Chaerul Umam, datanglah dua orang tamu. Mereka adalah seorang wartawan yang datang dari Jakarta. Yang bermaksud menjelaskan kabar kematian Chaerul Umam dan sekaligus memberikan uang asuransi kematian Chaerul Umam dan juga uang dari kawan-kawannya kepada suami istri tersebut. Kedua wartawan tersebut adalah sahabat Chaerul Umam. Selain memberikan sejumlah uang, mereka juga meminta maaf kepada suami istri tersebut atas kelancangan mereka mengambil tindakan untuk menguburkan Chaerul Umam tanpa sepengetahuan suami istri tersebut. Setelah kedua wartawan itu pergi, suami istri itu kebingungan dan memandangi uang yang diberikan oleh kedua wartawan tadi. Dan mereka berfikir kenapa uang itu diberikan kepada mereka. Padahal mereka belum ingat siapa Chaerul Umam sebenarnya.
Akhirnya setelah di fikir-fikir secara matang mereka berencana akan mengembalikan uang tersebut. Sebab mereka takut kalau-kalau suatu ketika keluarga Chaerul Umam membutuhkan uang tersebut dan menuntut mereka. Namun, ketika sang istri menghitung uangnya ternyata jumlahnya tidak sesuai dengan yang tertulis di dalam kwitansi. Pada akhirnya mereka menambahkan uang pensiunan mereka agar jumlah uang yang akan dikembalikan sesuai dengan jumlah yang tertera di dalam kwitansi. Keesokan harinya sang suami pergi ke kantor pos untuk mengirimkan uang tersebut dan juga surat yang ditulis oleh istrinya yang hendak di tujukan kepada keluarga Chaerlu Umam di Jakarta. Setelah sekian lama kedua orang tua itu bertambah tua dan penyakitan.
Akan tetapi mereka berhasil mengumpulkan uang untuk persiapan penguburan mereka setelah mereka menggunakannya untuk menggenapi jumlah uang untuk keluarga Chaerul Umam. Pada suatu hari mereka menunggu tukang yang akan mengerjakan segala sesuatu apabila mereka meninggal. Pada suatu hari suami istri itu berdebat tentang uang yang telah berhasil mereka kumpulkan yang rencananya akan digunakan untuk biaya pemakaman apabila mereka meninggal nanti. Mereka lama menghabiskan waktu untuk berdebat sebab keduanya sama-sama ingin di penuhi kehendaknya.
Namun, kehendak mereka berbeda. Sang istri menginginkan agar uang tersebut disimpan terlebih dahulu. Sedangkan suaminya berkehendak lain. Ia justru menginginkan agar uang tersebut di gunakan untuk membeli semen, pasir, marmer. Dan segala keperluan untuk pemakaman mereka nantinya. Pada akhirnya sang istri mengalah, ia terpaksa mempergunakan uang tersebut untuk membeli segala keperluan untuk pemakaman. Lalu setelah itu mereka menentukan siapa tukang yang akan mengerjakan pembangunan makam mereka nantinya. Dan setelah mempertimbangkannya akhirnya sang suami memilih Ibrahim sebagai tukangnya.
Lalu pada suatu hari mereka mengundang Ibrahim kerumah mereka untuk membicarakan biaya dan waktu pengerjaan pembangunan makam tersebut. Setelah bertukar pikiran dengan Ibrahim, akhirnya Ibrahim pergi meninggalkan rumah suami istri tersebut dan kembali suami istri itu berdebat mengenai pembangunan makam. Dan disaat itu juga sang suami memutuskan untuk membeli dua buah peti mati. Akan tetapi sang istri melarang dan ia menganggap bahwa suaminya benar-benar tidak masuk akal. Seolah-olah ingin cepat-cepat meninggal dunia. Tak selang berapa lama, datanglah Tobing yang dulunya mondok di kos-kosan mereka. Tobing kini sudah berkeluarga dan bekerja. Ketika sedang berbincang-bincang dengan Tobing, suami istri itu menjelaskan kepada Tobing bahwa mereka akan menjual rumah mereka kepada Tobing dan bisa ditempati setelah mereka meninggal dunia. Setelah dipertimbangkan akhirnya Tobingpun bersedia membeli rumah mereka dengan pembayaran di cicil.
Hari demi hari berlalu. Suami istri tersebut menjadi sangat tua, pikun dan juga penyakitan. Tetapi telah lengkap mengumpulkan semua bahan-bahan untuk pembangunan makamnya. Semuanya diletakkan di sekitar kursi tempat mereka minum. Dan Ibrahimpun sudah tak sabar kapan ia akan mulai mengerjakan pembangunan makam suami istri tersebut. Sedangkan Tobing yang sudah mulai setengah tua sudah melunasi uang cicilan rumahnya. Akan tetapi suami istri tersebut belum juga meninggal. Mereka masih selalu mengisi hari-harinya dengan berdebat bahkan bertengkar mengenai kematiam mereka.
KOMENTAR :
Dalam naskah drama ini tidak di sebutkan siapa nama dari tokoh-tokoh utamanya yaitu pasangan suami istri tersebut. Pengarang tak mengacuhkan watak dari tokoh-tokohnya. Masalah kematian menjadi urutan paling atas sebagai pembicaraan tokoh-tokohnya. Sepintas drama ini kelihatan absurd, namun sebenarnya realistis. Sebab apa yang dipikirkan oleh tokoh-tokohnya adalah juga apa yang sering dipikirkan oleh kita. Dalam naskah drama ini kita menemui dialog-dialog yang konyol dan penuh lelucon.
Drama : Perguruan
Karya : Wisran Hadi
Penerbit : Balai Pustaka
SINOPSIS :
Drama ini menceritakan tentang sebuah pertentangan yang terjadi di dalam sebuah perguruan. Pada suatu hari para penghuni perguruan dikejutkan dengan adanya kebakaran Balai Adat. Balai Adat adalah sebuah bangunan megah yang biasa digunakan untuk pertemuan. Balai Adat dibangun oleh ayah dari istri guru di kerajaan itu. Ketika mendengar berita kebakaran itu, istri guru jatuh pingsan karena sangat terkejut. Lalu para pengikut perguruan itu berniat untuk mencari pelaku pembakaran itu. Dan ternyata pelakunya adalah salah satu pengikut dari perguruan itu, ia membakar tempat itu karena menurutnya tempat tersebut kerap digunakan sebagai arena perjudian.
Namun niatnya untuk memberantas perjudian itu justru mengakibatkan pertumpahan darah pihak yang tak bersalah. Para dubalang mencari pengikut tersebut ke dalam perguruan dan mereka menemukannya. Mereka berniat menghukumnya. Akan tetapi guru melarang mereka sebab hukuman mereka tak dapat mengubah tekadnya. Akhirnya mereka menganggap bahwa guru membela pelaku kebakaran tersebut. Pada suatu ketika, istri guru telah meninggal dunia. Dan suatu ketika datanglah Nan Renceh. Ia adalah leleaki yang telah membunuh ibunya sendiri. Nan renceh datang menemui gurunya adalah untuk meminta pembelaan dalam menegakkan kebenaran. Namun ia tak mendapatkan pembelaan dari gurunya. Sebab caranya dalam menegakkan kebenaran tidak disetujui oleh guru itu. Kemudian setelah Nan Renceh pergi datanglah seorang tamu ke perguruan itu. Maksud kedatangannya adalah untuk memberitahukan bahwa para pengikut perguruan Batu Tebal mulai melakukan tindakan dalam menyebarkan kebenaran. Dan telah terjadi bentrokan antara mereka dengan para dubalang dan penduduk Batu Tebal dirundung rasa takut.
Tamu itu meminta kepada guru untuk membantunya dalam membalas perbuatan para dubalang itu. Namun guru juga tak memberikan kesediaannya untuk membantunya. Pada suatu ketika para wanita tengah berdiri termangu merenungi kesedihan guru yang telah ditinggalkan oleh istri dan kedua anaknya. Mereka membicarakan siapa yang akan menjadi pengganti istri guru. Lalu beberapa saat kemudian guru datang ketempat mereka. Dan mereka disindir secara halus oleh guru tersebut karena mereka ketahuan sedang membicarakan tentangnya. Lalu para wanita itu melihat keributan diluar. Rupanya salah seorang pengikut menyeret seseorang yang dikiranya sebagai pembunuh istri guru. Pengikut itu menuduh orang tersebut tanpa adanya bukti. Sehingga para wanita justru menyalahkan pengikut itu dan memaksanya agar melepaskan orang yang telah diseretnya itu. Sesaat kemudian datanglah pengikut lain dan ia mengatakan bahwa ia telah menemukan pembunuh istri guru dan ia juga telah membunuhnya. Kemudian muncul kebingungan diantara mereka sebenarnya siapa pelaku pembunuhan itu.
Lalu datanglah seorang wanita yang menangis karena suaminya telah dibunuh oleh salah satu pengikut itu. Wanita tersebut mencoba menikam salah satu dari pengikut itu dengan pisau. Dan pada saat sang pemilik pisau mencoba mengambil kembali pisau itu, pisau itu justru mengenai perutnya dan iapun rebah ke lantai sambil memegangi perutnya.
Wanita itupun tak sadarkan diri karena ketidaksengajaannya. Lalu gurupun datang dan ia mengatakan kepada para pengikutnya bahwa perkara pembunuhan istri dan kedua anaknya adalah persoalannya sendiri. Para pengikut tak berhak melakukan tindakan apapun tanpa seizinnya.
KOMENTAR :
Isi dari naskah drama ini singkat, jelas dan mudah dimengerti. Tak banyak tokoh yang dilibatkan dalam naskah drama ini. Amanat yang terkandung dalam naskah drama ini adalah bahwa kekerasan tidak dapat digunakan sebagai alat untuk menegakkan sebuah kebenaran. Dan kekerasan justru akan memperpanjang sebuah persoalan atau masalah.
Judul : Badai Sepanjang Jalan
Karya : Max Arifin
SINOPSIS :
Drama ini menceritakan perjalanan hidup seorang guru muda bernama Jamil barsama istrinya yang bernama Saenah. Pada suatu ketika Jamil ditugaskan untuk mengajar di sebuah sekolah di desa terpencil yaitu di Klulan. Awalnya Jamil merahasiakan hal tersebut kepada istrinya. Namun, kemudian ia mengatakan yang sebenarnya kepada Saenah. Saenahpun heran kenapa suaminya harus merahasiakan hal itu dari dirinya. Pada suatu malam mereka berbincang membahas mengenai tugas yang diamanatkan kepada Jamil. Dan Jamilpun memutuskan untuk pindah ke Klulan. Suatu hari mereka pindah ke Klulan dan kedatangan mereka disambut dengan ramah oleh kepala desa di Klulan. Mereka disambut dengan pidato selamat datang oleh kepala desa tersebut. Dalam pidatonya ia memperkenalkan Jamil dan Saenah dengan Sahli dan juga Hasan.
Mereka berdua juga seorang guru yang sudah lima tahun mengajar di sekolah dasar. Jamil dan istrinya tinggal di sebuah pondok yang sederhana. Sedangkan sekolah dimana Jamila akan mengajar hanya memiliki tiga ruang kelas saja. Kondisinyapun sebenarnya sudah memprihatinkan. Akan tetapi tekadnya untuk membina generasi muda di Klulan tidaklah patah hanya karena kondisi sekolahan yang memprihatinkan itu. Pada suatu malam Jamil dan Saenah berbincang tentang kehidupannya di Klulan. Saenah merasa semakin terdesak dalam masyarakat yang kecil itu. Merekapun saling menyalahkan akan tindakan masing-masing. Saenah menganggap bahwa Jamil tidak memahami masyarakatnya. Namun, Jamil menganggap justru masyarakatlah yang tidak memahami dirinya. Sehingga ia menyalahkan masyarakat.
Dan iapun merasa menang akan perdebatan dengan istrinya. Akhirnya Jamil memutuskan untuk pindah dari desa itu. Lalu Saenah bertanya apakah hal itu merupakan penyelesaian atas semuanya. Dan menurut Jamil itulah penyelesaiannya. Menurut Saenah, suaminya tersebut adalah seorang yang idealis. Namun, ia tak dapat bergaul secara akrab dengan masyarakat. Dan Jamilpun mengatakan kepada istrinya kalau ia ingin hidup jauh dari kebisingan. Sehingga iapun memutuskan untuk tetap tinggal di desa. Saenahpun mengikuti kehendak suaminya dan ia juga turut tinggal di desa. Lalu sesaat setelah adzan subuh Saenah mengatakan kepada Jamil kalau anak-anak menunggunya di keesokan harinya yang membutuhkan ilmu darinya.
KOMENTAR :
Naskah drama ini ceritanya mudah dipahami. Dan tokoh yang berperan juga tidak terlalu banyak sehingga ceritanya tampak singkat. Amanat yang terkandung adalah kita harus mengamalkan ilmu yang kita punyai kepada seseorang yang membutuhkan dengan ikhlas.
TUGAS PENGANTAR PENGKAJIAN SASTRA
RESUME BEDAH BUKU
Dosen Pengampu :
Drs. Mulyo Hadi P, M.Hum
Disusun oleh :
Rosyidi Siswanto A2A009066
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2011
RESUME : BEDAH BUKU
Bedah buku ini dilaksanakan pada tanggal 06 desember 2011. Bertempat di gedung Ir. Sunardi, Kampus Undip Jalan Hayam Wuruk. Acara ini dimulai pada jam 08.45 wib oleh mas akhlis (sastra Indonesia angkatan 2008) dan dibuka secara langsung dengan pak Dekan FIB Undip, Bapak Agus Maladi Irianto.
Beliau mengatakan bahwa : “semoga acara ini (bedah buku) menjadi tradisi yang nantinya akan terus dilaksanakan jangan sampai berhenti disini”. Selanjutnya pak Agus menilai sajian kali ini lebih menarik dari tahun-tahun yang lalu dan akan larisnya kayaknya karena kata pengantar dipersembahkan oleh Sapardi Djoko Damono.
Beliau juga bercerita sedikit tentang masa lalunya bahwa pada saat menjadi dosen pak Darto menjadi dekan FIB, pada saat menjadi mahasiswa pak Djarwo menjabat sebagai dekan FiB undip.
Acara berikutnya dilanjutkan menuju kepermasalahan yaitu bedah buku yang dimoderatori oleh pak Redyanto, pak Redy mengaku bahwa dalam acara itu naik pangkat sedikit menjadi moderator karena dia sebagai sopir dari pak Sapardi tetapi itu menurut saya hanya lelucon saja yang dibuat oleh beliau agar suasana bedah buku itu tidak garing.
Pak Sapardi menjelaskan bahwa pak Djarwo itu kalau membuat buku tidak suka neko-neko melainkan sesuatu yang diajarkan dan tidak cengeng seperti pengarang-pengarang lainnya. Memahami itu nomor dua, menghayati itu hal yang pertama dalam membaca karya puisi. Contohnya : karya Chairil Anwar dengan judul “Aku”. Tambah lanjutnya.
Setelah menerangkan sedikit tentang judul buku itu “ketukan itu” sampai pada acara Tanya-jawab. Pertanyaan : Kenapa mengambil sajak “ketukan itu” ? beliau (Sapardi Djoko Damono) menjawab : karena judul itu saya anggap sebagai rohnya buku ini. Dan mempunyai arti banyak misalnya pertanda (mati) bagi kaum kami (kolot atau tua) atau tanda itu apa dalam arti setiap ketukan yang kita dengar selama ini. Berikutnya ada pertanyaan dari salah satu mahasiswa yang mengikuti acara itu mengatakan : kita sebagai mahasiswa sastra, kami dituntut untuk mengapresiasi karya sastra. Nah, bagaimana caranya mengarang seperti pak Djarwo? Pak Sapardi menjawab : sebenarnya kita semua setiap hari membuat karya sastra.
Contoh sastra lisan, seperti nge-gosip. Dalam kajian magister ada mata kuliah tentang sastra lisan itu. Jadi, tidak usah mengikuti gaya orang lain melainkan jadilah diri sendiri.
Adapun saya mengambil dari Koran Semarang Metro pada tanggal 07 Desember 2011 atau bertepatan dengan sehari setelah acara bedah buku itu.
SEMARANG METRO
07 Desember 2011
Soedjarwo Terbitkan ”Ketukan Itu”
ARS longa, vita brevis. Berkesenian itu panjang, sedang hidup itu pendek. Demikian ungkapan latin yang dikutip Sapardi Djoko Damono menyinggung proses kreatif dari Soedjarwo.
”Kadang ungkapan itu dibalik menjadi berkesenian pendek dalam hidup yang panjang. Itu yang beberapa kali kita temui dalam diri sastrawan baik di masa lalu maupun sekarang. Mereka menulis sedikit karya, terkenal, tapi lalu hilang. Itu yang tak dilakoni Soedjarwo. Sepanjang usia, profesor itu tetap berkarya,” ujar Sapardi pada diskusi saat peluncuran kumpulan puisi karya Soedjarwo terbaru bertajuk Ketukan Itu di Gedung Sunardi, Kampus Undip Jalan Hayam Wuruk.
Dia menegaskan, di usianya yang tepat memasuki 72 tahun, teman lamanya sejak kecil itu masih aktif menulis. Ketukan Itu bermula dari keinginan Soedjarwo untuk menerbitkan lagi buku kumpulan puisi yang kesekian kali. Ratusan puisi diserahkan pada Sapardi yang langsung melakukan seleksi untuk menghimpunnya menjadi buku.
”Puisinya sederhana. Kata-katanya mudah dicerna. Tapi setelah dibaca, kita jadi bertanya apa sebenarnya maksud puisi tadi,” tambah Sapardi mengomentari buku yang diterbitkan Editum itu.
Dari Kenyataan
Puisi Soedjarwo yang seorang guru besar di Undip dan pensiun tahun lalu, menurutnya berangkat dari kenyataan dalam hidupnya sendiri untuk mengungkapkan masalah mendasar. Masalah itu perlahan muncul dalam diri manusia ketika mempertanyakan makna kehidupan dan juga kematian. Secara keseluruhan, menurutnya Soedjarwo jelas menunjukkan betapa dekatnya kematian, tetapi sekaligus tak terukur jaraknya dengan kehidupan.
”Saya memahami sajak-sajaknya sebagai pengungkapan upaya manusia yang sia-sia untuk menciptakan komunikasi antara keduanya. Suatu upaya yang muncul ketika orang tiba-tiba merasa sendirian saja,” jelas Sapardi yang juga menghiasi buku tersebut dengan ilustrasi karyanya.
Soedjarwo menjelaskan, puisi-puisi yang ada di buku itu diambil dari berbagai bukunya terdahulu ditambah dengan sejumlah sajak baru. Buku itu dibagi menjadi tiga bab. Bab satu berisi tiga puisi bertajuk ”Kata, Kalimat, dan Puisi” yang seolah menjadi gerbang pembuka.
Bab kedua diisi dengan 59 puisi, sedangkan bab ketiga hanya diisi satu puisi berjudul ”Titik”. (Adhitia Armitrianto-69)
TUGAS PENGANTAR PENGKAJIAN SASTRA
RESUME TEORI SASTRA MODERN
Dosen Pengampu :
Drs. Mulyo Hadi P, M.Hum
Disusun oleh :
Rosyidi Siswanto A2A009066
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2011
Dalam melakukan interpretasi teks, kritik memerlukan teori. Perlu adanya mengenai konsep sastra dan kriteria penilaian dalam kritik sastra. Di sini, kita melihat, betapa simpang-siur perdebatan konsep sastra, perumusan teori dan keperluannya dalam menentukan kriteria penilaian. Dalam hal ini, “teori sastra harus menciptakan dasar konsep yang universal yang dapat dipakai mendeskripsikan fakta-kata tertentu”. Agak berbeda dengan teori sastra yang sudah dibicarakan sebelumnya, resepsi sastra tidak begitu menekankan pada teks sastra, melainkan pada pemaknaannya atas teks. Seperti dikatakan Jurij M. Lotman, ”Realitas kultural dan historis yang disebut karya sastra tidak berhenti di dalam teks. Teks hanyalah salah satu unsur dalam suatu relasi. Nyatanya karya sastra terdiri atas teks dalam relasinya dengan ekstratekstual; dengan norma-norma sastra, tradisi, dan imajinasi”. Dalam hal ini, “teori resepsi menghargai relativisme kultural dan relativisme historis …”
Teori sastra (literary theory) di Indonesia secara praksis sering kali dipahami juga sebagai kritik sastra (criticism). Sementara kritik sastra tidak jarang diperlakukan sebagai pendekatan (approaches to literature). Dalam hal ini, kritik sastra dianggap merupakan pendekatan yang dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk berbagai kepentingan penelitian terhadap karya sastra konkret. Demikianlah, dalam banyak perbincangan, baik teori sastra maupun pendekatan atau penelitian sastra, hampir selalu ditempatkan dalam pengertian sebagai kritik sastra. Atau di bagian lain, teori sastra dikatakan juga sebagai teori kritik sastra. Jadi, pembicaraan mengenai strukturalisme atau semiotik, misalnya, dianggap sebagai bagian dari pembicaraan teori kritik sastra.
Terlepas dari pemahaman yang tampak tumpang-tindih itu, sejauh pengamatan, hampir semua bersepakat, bahwa teori-teori itu sepenuhnya berasal dari Barat. Oleh karena itu, orientasi teori sastra di Indonesia dipahami dalam dikaitkannya dengan perkembangan teori sastra Barat. Kesan itu muncul ketika ada usaha-usaha untuk merumuskan teori sastra Indonesia yang khas dilahirkan berdasarkan cara pandang dan ruh kebudayaan Indonesia sendiri. Kesadaran untuk menghasilkan teori sastra yang khas Indonesia dan tidak bergantung teori sastra Barat itu, muncul lantaran dunia akademi tempat para mahasiswa dan dosen mempelajari dan mengembangkan ilmu sastra, dianggap telah menempatkan teori sastra modern cenderung lebih bersifat formalistik. Sementara itu, pembicaraan mengenai karya sastra itu sendiri atau kritik langsung terhadap karya sastra, kurang mendapat perhatian. Akibatnya, teori ditempatkan sebagai teori an sich, dan bukan dijadikan sebagai alat untuk menganalisis karya sastra. Demikianlah, atas anggapan itu, muncul kemudian keinginan dari beberapa pengamat sastra untuk tidak secara bulat-mentah menerima teori sastra Barat. Subagio Sastrowardoyo, misalnya, mengungkapkan, “… dengan menitikberatkan pada teori-teori yang bergerak pada tataran yang umum dan abstrak tentang kesusastraan, maka terdapat kecenderungan yang kuat untuk meninggalkan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra.” Sebaliknya, ketika ada usaha untuk melakukan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra atau melakukan kritik langsung atas karya sastra, teori-teori yang mestinya menjadi alat analisis, tiba-tiba seperti gagal mengemudikan analisis dan interpretasi untuk mengungkap kekayaan makna karya sastra. Teori-teori itu seperti kehilangan relevansinya manakala hendak dioperasionalisasikan. Ia pada akhirnya seperti tempelan belaka yang seolah-olah sekadar memberi kesan ilmiah. “Penyelidikan sastra jadinya ditandai oleh ketiadaan teori dan metode yang jelas. Mungkin ada semacam teori dan metode, tetapi lebih merupakan teori dan metode yang bersifat ad hoc, disesuaikan dengan bahan yang ada.” Itulah yang terjadi dalam banyak skripsi (tugas akhir kesarjanaan), mahasiswa fakultas sastra. Teori sastra jadinya sekadar hendak menegaskan kesan ilmiah belaka, sementara tugasnya sebagai alat analisis, interpretasi, dan evaluasi, tidak jelas ke mana arahnya. Teori-teori sastra yang diperkenalkan dan diajarkan dalam dunia akademi di Indonesia, memang tidak lain bersumber dari teori sastra Barat. Dengan demikian, pembicaraan teori sastra (Indonesia) pada hakikatnya adalah teori sastra Barat. Itulah anggapan yang selama ini berkembang dalam sejumlah buku yang membicarakan kritik sastra Indonesia. Dalam ilmu sastra, ada tiga bidang kegiatan penelitian yang berkaitan dengan sastra dan kesastraan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Keberadaan masing-masing bidang bersifat saling melengkapi, komplementer dan saling mendukung. Mengingat sifatnya itu, ketiga bidang itu dapat dimasukkan ke dalam tiga wilayah kegiatan penelitian yang bersifat teoretis (teori sastra –literary theory), historis (sejarah sastra –literary history), dan kritis (kritik sastra –literary criticism). Dalam wilayah studi sastra, perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Teori sastra bekerja dalam bidang teori, misalnya penyelidikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengertian sastra, hakikatnya, jenisnya, dasar-dasarnya, kriteria dan berbagai hal tentang itu. Ia adalah studi prinsip-prinsip sastra, kategori-kategorinya, kriteria, dan sejenisnya. Teori sastra hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra, dan ia harus menciptakan dasar konsep yang universal, atau sekurang-kurangnya konsep umum, yang dapat dipakai untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fakta-fakta. Dengan demikian, teori sastra merupakan salah satu cabang ilmu sastra yang berusaha merumuskan pengertian-pengertian tentang sastra, hakikat dan prinsip-prinsip sastra, melakukan pengklasifikasian terhadap jenis dan ragam-ragam sastra, serta menyodorkan bagaimana analisis, interpretasi dan evaluasi terhadap karya sastra konkret dapat dilakukan. Sebagai salah satu cabang ilmu sastra, teori sastra dapat memberi kontribusinya bagi cabang ilmu sastra lainnya, yaitu kritik sastra dan sejarah sastra. Kritik sastra, misalnya, hanya mungkin dapat melakukan evaluasi terhadap karya sastra secara objektif, jika evaluasinya didasarkan pada teori sastra. Kritik terhadap karya sastra konkret hanya akan menghasilkan penilaian yang sangat subjektif dan tak berdasar, jika ia mengabaikan teori sastra sebagai landasan penilaiannya. Begitu juga, sejarah sastra hanya mungkin dapat menjalankan tugasnya dengan baik jika memperoleh bantuan teori sastra. Bagaimana mungkin sejarah sastra dapat mencatat terjadinya berbagai pembaruan dalam karya sastra jika ia tidak didukung oleh pemahaman mengenai teori sastra. Lalu, untuk apa pula teori sastra, jika ia tidak dimanfaatkan untuk kepentingan kritik sastra. Begitu pula, kritik sastra yang tidak menggunakan teori sastra sebagai alat ukurnya, hanya akan menghasilkan interpretasi dan evaluasi yang terlalu subjektif. Di situlah, teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra, hadir dalam fungsinya yang saling melengkapi. Dengan pemahaman bahwa yang dimaksud teori sastra itu merupakan studi prinsip, kategori, dan kriteria berdasarkan penyelidikan terhadap sejumlah karya sastra dengan tujuan menghasilkan dasar konsepsi yang berlaku secara universal atau paling tidak, berlaku umum, maka pandangan Rachmat Djoko Pradopo, bahwa kritik sastra Indonesia tahun 1950-1970 belum menggunakan teori sastra, yang dimaksud teori sastra itu adalah teori sastra Barat. Demikian juga pernyataan Subagio Sastrowardoyo bahwa Indonesia selalu terlambat dalam menerima pengetahuan tentang teori-teori sastra yang bermunculan di dunia Barat, menegaskan kembali betapa teori sastra (Barat) menjadi begitu penting dalam perkembangan teori sastra di Indonesia. Lebih lanjut, dikatakan Sastrowardoyo bahwa keterlambatan itu disebabkan oleh tiga hal. Pertama, jarak hubungan kultural dan intelektual antara Indonesia dengan benua Amerika dan Eropa. Kedua, pemasukan buku dan majalah yang bersifat akademis dari luar negeri yang belum lancar dan masih terbatas jenisnya. Ketiga, kemampuan dan penguasaan umum yang masih lemah dalam pemahaman bahasa asing, sehingga menghambat pendalaman ke dalam objek studi, khususnya teori sastra. Jika yang dimaksud keterlambatan menerima teori sastra, sebagaimana yang dikatakan Subagio Sastrowardoyo itu, sebagai keterlambatan menerima teori sastra Barat, maka masalah sebenarnya berkaitan dengan perkembangan kritik akademi atau kritik ilmiah. Dengan demikian, keterlambatan itu merupakan sesuatu yang wajar saja, jika itu ditempatkan dalam konteks kritik akademi atau kritik ilmiah. Apalagi jika mengingat munculnya kritik akademi atau kritik ilmiah, baru memperoleh bentuknya yang lebih jelas selepas tahun 1970-an, sebagaimana yang kemudian diajarkan di fakultas-fakultas sastra berbagai perguruan tinggi. Kritik sastra yang di dalamnya menyangkut pembicaraan teori sastra kemudian juga menjadi bagian dari kurikulum nasional pengajaran sastra. Meskipun demikian, keterlambatan seperti dikatakan Subagio Sastrowardoyo itu sesungguhnya tidak juga sepenuhnya benar. Anggapan terjadinya keterlambatan itu, sebenarnya cenderung lebih disebabkan oleh kelalaian membaca sejarah. Kritik dan teori sastra seolah-olah muncul tanpa sejarah. Itulah sebabnya, ketika ada usaha-usaha untuk merumuskan teori sastra sendiri seperti yang pernah terjadi awal tahun 1980-an pijakan pertama yang digunakan adalah teori sastra Barat, dan bukan lebih dahulu mencoba menyimak apa yang pernah terjadi sebelumnya. Atau, paling tidak, berangkat dari pertanyaan: apakah masalah itu sebelumnya pernah dibicarakan atau tidak. Dengan demikian, anggapan adanya keterlambatan penerimaan teori sastra Barat, boleh dikatakan muncul dari sikap apriori yang menafikan sejarah perkembangan teori dan kritik sastra Indonesia sendiri. Jika melihat sejarah perjalanan kritik sastra di Indonesia yang justru sudah dimulai sejak zaman Pandji Poestaka, maka dalam praktiknya, pembicaraan mengenai kritik dan teori sastra, sebenarnya sudah dimulai sejak itu. Jadi, usaha-usaha ke arah perumusan teori sastra Indonesia sangat mungkin pula justru sudah muncul sejak zaman Pandji Poestaka dan kemudian semarak pada zaman Poedjangga Baroe. Paling sedikit ada tiga hal yang menyebabkan berbagai tulisan dalam surat kabar dan majalah itu sering diabaikan dalam pembicaraan teori sastra. Pertama, kecenderungan yang dilakukan para pengamat sastra Indonesia dalam menyusun sejarah sastra Indonesia mendasari penelitiannya pada karya-karya yang berujud buku, sementara karya-karya sastra yang masih tersebar di berbagai media massa sering kali diabaikan. A. Teeuw dan Ajip Rosidi, misalnya, menempatkan kelahiran kesusastraan Indonesia semata-mata berdasarkan karya-karya yang diterbitkan dalam bentuk buku. Akibatnya, awal kelahiran kesusastraan Indonesia, misalnya, dikatakannya berkisar pada kemunculan buku-buku terbitan Balai Pustaka. Padahal, cerita pendek, cerita bersambung (feuilleton), dan puisi, sudah sering bermunculan di berbagai suratkabar dan majalah pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Dengan demikian, karya-karya yang disiarkan media massa itu kehadirannya justru mendahului buku-buku terbitan Balai Pustaka. Kedua, pemahaman kritik sastra khasnya kritik sastra ilmiah atau kritik sastra akademi dianggap hanya berkaitan dengan karya-karya ilmiah yang berupa karya kesarjanaan (skripsi, tesis, atau disertasi). Bahkan ada kesan bahwa kritik ilmiah atau kritik akademi, seolah-olah hanya berada di wilayah institusi pendidikan (fakultas sastra) dan tidak berada di luar itu. Kritik akademi jadinya memperoleh pemaknaan yang sempit dan dianggap yang hanya dapat dilakukan oleh para sarjana. Kritikus di luar itu, seolah-olah hanya menghasilkan kritik umum atau kritik impresionistik yang menekankan kesan subjektif kritikus, dan bukan menempatkan karya sastra sebagai objek penelitiannya. Akibat pemahaman itulah, kritik sastra akademi atau kritik sastra ilmiah lalu dibedakan dengan kritik impresionistik yang ditulis oleh sastrawan. Sementara kritik sastra umum yang terdapat di media massa, baik berupa resensi buku, maupun ulasan terhadap karya sastra konkret, cenderung tidak diperlakukan sebagai model kritik sastra ilmiah atau kritik akademi. Ketiga, kuatnya pengaruh kritik aliran Rawamangun dalam institusi pendidikan sastra di Indonesia ikut pula mempengaruhi cara pandang dan perlakuan terhadap esai-esai yang disiarkan majalah atau surat kabar. Akibatnya, kritik atau ulasan terhadap karya sastra konkret yang disiarkan media massa itu, sering kali dianggap tidak ilmiah. Itulah beberapa faktor yang menyebabkan esai-esai (kritik sastra umum) yang disiarkan dalam surat kabar dan majalah kurang mendapat perhatian, bahkan terkesan seperti dibiarkan tercecer begitu saja. Untuk memberi gambaran, betapa pentingnya sejarah sastra –termasuk di dalamnya pembicaraan mengenai kritik dan teori sastra mengungkap tulisan-tulisan dan perbalahan yang terjadi di media massa.