Senin, 21 Mei 2012

SASTRA INDONESIA BERUTANG PADA MINANG

SASTRA INDONESIA BERUTANG PADA MINANG
Sastrawan Remy Sylado menegaskan bahwa bahasa dan sastra Indonesia berutang pada orang Minang yang dimulai dari awal terbentuknya semangat kebangsaan.

“Secara acak, ingat saja nama-nama besar sastrawan terbaik Minang dalam peta kesastraan Indonesia seperti Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Muhammad Yamin, Usmar Ismail dan Asrul Sani,” kata Remi Sylado, dalam acara diskusi bertema “Menumbuhkembangkan Bakat dan Kemauan Menulis Karya Sastra di Ranah Minang” di JCC Jakarta, Sabtu (15/11).
Selain Remy Silado, acara diskusi yang dibuka oleh Wakil Gubernur Sumbar Marlis Rahman itu, juga tampil dua pembicara masing-masing Harris  Effendi Thahar dan Taufiq Ismail. Menurut Remy, hingga saat ini tidak banyak orang melihat alasan mengapa kepandaian itu berawal dari putra-putra bangsa yang lahir dari Sumbar.

“Saya pribadi melihat alasan itu lebih pada sendi kebudayaan Minang sendiri yang memang dalam tindak-tanduk manusianya berupa peringatan kata-kata bijak berupa syara' mengato dan adat mamakai. Saya kira lanjutnya, itulah puisi konkret atau puisi aktual, yang dengan sendirinya merupakan dasar tamadun pencapaian sastra sebagai kepandaian bahasa yang ada dalam leluri Minang. Hanya sebatas itu saja yang saya tahu. Lebih dari itu, saya tidak tahu apa-apa,” ujar sastrawan dari Minahasa itu.

Kalau ada hubungan antara Minahasa dengan Minang, lanjutnya, barangkali itu hanya pada urusan gastronomi, lemang di Padang dan Nasija di Manado. Atau sekiranya ini pantas dianggap sebagai faedah sejarah, maka dua wilayah NKRI yang pada 1957 mengadakan perlawanan terhadap pemerintah yang waktu itu terlalu dikuasai PKI, memang dua kota ini - Padang dengan PRRI, dan Manado dengan Permesta.

“Kiranya hubungan paling dekat di antara dua wilayah NKRI yang pernah menanggung stigma ‘pemberontak’ ini adalah makam pahlawan besar Imam Bonjol terletak di Minahasa,” tegasnya. Tadi, lanjutnya, kita sudah membaca nama-nama pesastra yang marhum. Kelak kita harus menyebut nama-nama lain yang kini tengah berkibar seperti, Jose Rizal Manua, Gus TF Sakai, ES Ito.

Dia juga mencatat Imam Bonjol dan Muhammad Hatta juga merupakan putra Minang tidak hanya dikenal sebagai pimpinan perang dan proklamator, tapi keduanya dipandang sebagai pelaku kebudayaan karena keduanya juga melahirkan puisi-puisi yang monumental. “Ini menggambarkan pejuang-pejuang kebangsaan sangat peduli terhadap bahasa kebangsaannya. Sementara dalam perkembangan sekarang, kita melihat pemimpin-pemimpin bangsa yang semuanya berdiri di atas partai-partai politik malah mengabaikan bahasa kebangsaannya dan jor-joran menjadi bangsa terjajah dengan bahasa centang-perenang ‘linggis seterika’ (Inggris-Amerika),” ujar Remy Sylado.

Agak aneh di kuping, bahwa gagasan membangkitkan semangat membaca sastra, justru diselenggarakan secara tetap oleh sebuah lembaga Khatulistiwa Literary Award, sebab penghargaan sastra bahasa Indonesia dirujuk dengan bahasa Inggris. Mengapa bukan “Hadiah Sastra Khatulistiwa” tanya Remy. “Tapi memang itu tidak lebih aneh dari ‘Save Our Nation’ di Metro TV. Ceritanya hendak menyelamatkan bangsa bukan dengan bahasa kebangsaan, malah dengan bahasa asing. Sama seperti orang botak di kaki lima yang menjual obat penumbuh rambut,” kata Remy.

Ia mengharapkan melalui dialog menumbuhkembangkan bakat dan kemauan menulis karya sastra di Ranah Minang itu bisa menjadi momentum untuk mengembalikan bahasa Indonesia lewat sastra.  “Melalui Ranah Minang kita kembalikan bahasa Indonesia lewat sastra sebagai piranti tamadun  kita,” harap Remy Sylado.
 
Sumber: Padang Ekspres/(fas)
Edisi: Selasa, 18 November 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar