Beragam dan Bertoleransi
Hampir satu tahun saya tinggal disini, sebuah kota kecil disebelah timur pulau Kalimantan, kota Bontang tepatnya. Lima jam dari Balikpapan atau bandara Sepinggan.
Jauh memang, tetapi ketika sampai di depan pintu gerbang masuk kota yang kecil dan hijau ini kita akan disambut oleh sebuah bangunan rumah sakit yang cukup gagah yang berdiri paling pojok sebelah barat kota ini. Hijau itulah yang terlihat disini. Hal ini pun diakui oleh temen sealumni saya yang suaminya bekerja di Telkomsel Ahmad Yani.
Ketika saya melewati tiga bulan disini, saya mulai merasa adanya hegemoni masyarakat yang heterogen. Berbagai suku menyatu berbaur bersama-sama membangun sebuah kota kecil ini untuk menyamai kota-kota yang telah maju lainnya. Jawa, sunda, banjar, kutai, dayak, bugis, palembang dan masih banyak yang lain. Mereka datang kesini mengais rejeki seperti halnya saya. Tetapi ketika tidak memandang sebagai satuan individu maka akan terlihat bahwa kehadiran mereka disini adalah salah satu komponen bangsa untuk menciptakan kemajuan di suatu wilayah Timur Kalimantan.
Untuk menciptakan itu bahasa merupakan salah satu partikel fundamental yang memberikan kontribusi paling banyak. Orang jawa menggunakan bahasa Jawa, orang sunda terbiasa dengan bahasa Sundanya dan Kutai dengan dengan bahasanya. Bagaimana jika ketiga orang tersebut yang memiliki latar belakang budaya berbeda. Disinilah terlihat sekali jika bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa penyatu, yang menjembatani agar kami bisa saling mengerti dan memahami.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa penyatu tidak berdiri sendiri begitu saja. Tolerasi dan sikap tentu juga menjadi bumbu yang dinamis agar komunikasi bisa tersampaikan satu sama lain. Kenapa? budaya berbeda maka adatnya pun berbeda. Sebagai contoh orang batak memiliki tabiat yang begitu keras, orang jawa lebih kalem. Jiwa yang kalem tidak bertoleransi pada seorang Batak,entah apa jadinya. Bukannya maksut tersampaikan malah bisa-bisa akan bertengkar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar