Kamis, 11 Agustus 2011

SASTRA??

Destaayu Wulandari edited a doc.
Singkirkan (hapus) Semarang dari Wacana Sastra Nasional*
sebuah saran dan usulan
Pemberitahuan; Tulisan ini tak muncul di Koran-koran jadi jangan ditunggu-tunggu Karena esai ini tak berbobot dan sepertinya kurang menarik dan mudah dibuang oleh redak...tur yang lebih punya kepentingan. Jadi mohon dimaklumi. Panjang lagi dan banyak ngelanturnya.

Mungkin kita akan bosan dan malas bila ingin berdiskusi perihal sastra di kota yang bernama semarang. Banyak orang diluar semarang mengatakan bahwa semarang itu kuburannya seni, sastra maupun pergerakan revolusioner dan pembunuh calon intelektual yang mau berkembang. Universitas-universitas yang mempunyai jurusan sastra selalu hampir tak memperdulikan jurusan ini. Jurusan ini hanyalah jurusan nomor sekian dari prioritas mencari uang para birokrat universitas. Selagi jurusan sastra masih bisa untuk mencari pundi-pundi uang, maka jurusan sastra masih ada. Kalau tidak ada yang berminat dan sudah tak berprospek uang, maka dengan enaknya jurusan sastra akan di tutup. Seperti halnya Unissula yang mana jurusan sastra sedang diambang itu karena para jajaran dosen dan birokrat univesitas memandang sastra tidak menghasilkan keuntungan finansial sama sekali. Selain itu, karena dosen-dosen sastra pun kadang banyak yang tak tahu sastra bahkan tak pernah perduli dengan perkembangan sastra sama sekali. Hanya satu dua yang benar-benar mencintai sastra. Sedang yang lainnya menjadi dosen sastra bukan Karena cinta dan ingin membagi ilmu dan wawasannya untuk kebaikan sastra yang akan datang, namun hanya sekedar profesi! Guru sastra maupun dosen sastra sekarang hanya berorientasi profesi atau kerja untuk cari uang! Sehingga mewariskan ilmu kepada mahasisawa/wi juga untuk mencari uang. Sastra dipandang tak lebih dari sebuah jenjang akademik untuk mencari kerja. Sehingga rasa humanisme dalam ranah sastra diberangus habis. Apalagi mengajarkan Tuhan? Nihil nol persen. Sastra yang diajarkan di kelas tidak mewajibkan mahasiswa/wi nya untuk mengembangkan wawasannya diluar kelas. Dan tidak pula dosen-dosen berkepentingan untuk mengenalkan dan bahkan untuk membuat mahasiswa/wi mengenal sastra apalagi mencintainya? Apalagi sastra dikenalkan untuk ikut serta dalam pembangunan lingkungan sekitarnya yang secara fungsional mendorong masyarakat untuk jadi lebih baik. Tragisnya lagi, banyak anak-anak yang menimba ilmu di jurusan sastra merasa tidak berkepentingan untuk mempertahankan sastra agar tetap hidup. Bahkan universitas sebesar Undip pun tidak merasa berkepentingan untuk membuat sastra ini tampak lebih baik. Undip bisa dibilang adalah kuburan sastra yang dilembagakan oleh universitas terkenal di jawa tengah maupun Indonesia. Dari minimnya buku sastra di perpustakaan sampai pada minimnya kinerja dosennya untuk memperkenalkan sastra agar dicintai oleh mahasiswa/winya. Kalau mau studi banding ke undip perihal sastra atau tetek bengek mengenai sastra, saya sarankan tidak usah. Buang-buang waktu. Mahasiswanya saja mayoritas nol masalah sastra. Mereka ke sastra hanya karena tidak diterima di fakultas atau juruan lainnya yang diinginkannya. Mereka datang dan pulang ke kampus hanya sekedar absen atau setor muka dan agar besok bisa cepat lulus dengan lebel cap undip. Kalau tidak ya hanya untuk sekedar gengsi karena dipandang anak undip, terlebih anak sastra yang banyak masyarakat umum melihat sastra itu rumit. Walau sekarang agaknya masyarakat memandang sastra itu tak berpotensi baik untuk mencari kerja. Seperti itulah. Undip sebagai universitas ternama dan tua di jawa tengah telah mengajari masyarakat untuk tidak memperdulikan sastra dan secara jelas menghinakan sastra secara terang-terangan. Hanya satu dua dosen yang mau bergelut dengan sastra dan tetap menjaganya dan mau berbaur dengan komunitas-komunitas sastra maupun mau ikut dalam acara-acara sastra yang diselenggarakan disekitarnya. Apalagi mahasiswa/winya? Hanya segelintir yang peduli dengan sastra akhir-akhir ini. Kebanyakan yang dihasilkan Undip hanyalah seorang penyair yang pandai merayu wanita dengan puisi-puisiya. Atau seorang yang lebih suka berimajinasai di dalam kamar. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah anak-anak sastra Undip lebih suka bertapa di kelasnya dan tak mau keluar dan ikut berbaur di sekitarnya. Bila Undip tak jelas seperti ini, apalagi universitas lainnya yang juga mempunyai jurusan sastra? Malah yang seringkali terlihat aktif dalam kegiatan-kegiatan sastra itu anak-anak yang ada diluar jurusan sastra. Inikan lucu? Di semarang, yang menghidupkan geliat sastra bukan anak-anak dari lingkungan akademik sastra atau jurusan sastra! Melainkan anak-anak psikologi, perhotelan, seni rupa, teknik dan lain sebagainya. Anak-anak sastra sendiri merasa tidak mempunyai kepentingan. Saya bilang ini tragis trus sangat mengenaskan dan menyakitkan serta tak enak didengar, dipandang dan dipikirkan.   Tutup saja jurusan sastra     Dalam buku cyber graffiti: polemik sastra cyberpunk, Kuswinarto dengan esainya yang berjudul “dan sastrawan pun tidak lagi percaya kepada guru sastra” sangat terang-terangan mendamprat kegagalan guru-guru (dosen) sastra dalam mengenalkan sastra di lingkungan sekolah kepada murid-muridnya. Dalam esai tersebut ia menulis “meskipun sastra sudah diajarkan di SD, SLTP, SLTA, bahkan perguruan tinggi bertahun-tahun, apresiasi sastra oleh masyarakat tetap saja rendah. Lalu apa saja yang dikerjakan guru-guru sastra di sekolah selain mengambil gaji tiap awal bulan?”. Lalu ia menambahkan “sastrawan kini sudah tidak lagi percaya kepada guru sastra, Karena guru-guru sastra di sekolah ternyata “goblok-goblok”. Tidak tahu sastra, tidak mencintai sastra, hanya sok mencintai sastra, padahal sebetulnya mati kutu di hadapan sastra”. Bahkan tidak hanya Kuswinarto yang mengatakan itu, Yudiono Ks pun sebagai dosen (sejarah) sastra Indonesia Undip mengatakan secara terang-terangan dalam buku esainya ilmu sastra; ruwet, rumit dan resah tentang rendahnya minat dan rasa ingin tahu dari mahasiswa/wi undip disamping kelangkaan bahan ajaran yang dikeluhkan oleh Yudiono Ks dalam esainya pengajaran sejarah sastra Indonesia yang dimuat di wawasan, minggu 18 januari 1998: hambatan yang dirasakan pengajar, kelangkaan buku sejarah sastra mutakhir. Barangkali hal itu disebabkan oleh rumitnya sejarah sastra Indonesia, atau buku sejarah sastra Indonesia yang ilmiah tidak (akan) laku, atau penelitian kesejarahan itu tidak memikat perhatian para dosen. Padahal, perjalanan dan perkembangan sastra Indonesia terus melaju, sehingga makin tidak terjangkau oleh mahasiswa dan pengajar mata kuliah tersebut. Rasanya sulitlah seorang dosen dituntut menyediakan sendiri bahan kuliah SSI yang relevan dengan kebutuhan mahasiswa . bahan yang paling mungkin disusun ialah BPKM (buku pegangan kuliah mahasiswa). Sementara itu, di pihak mahaasiswa tampak gejala atau kecenderungan menganggap remeh atau mudah masalah tersebut, sehingga kurang tampak kesungguhan membaca. Hal ini dapat ditengarai dengan prestasi ujian semesteran, ujian komprehensif, dan ujian skripsi yang relatif rendah dari kebanyakan mahasiswa. Dengan kata lain pengetahuan mahasiswa tentang peta dan alur perkembangan sastra Indonesia boleh dikatakan (rata-rata) tidak memuaskan. Dalih tentu saja bermacam-macam. Kegelisahan yang diungkapkan Yudhiono Ks pada tahun 1998, kinipun memiliki relevansi yang nyata dengan perkembangan sastra di undip dewasa ini. Dalam waktu hampir sekitar 13-14 tahun sejak 1998 dan kini 2011, kritik yang diberikan oleh Yudhiono Ks ke undip bisa dibilang tak pernah beranjak dari esai ini. Dengan begitu Undip tak mempunyai progress positif sama sekali. Undip masih tetap sama dengan tahun 1998 tatkala esai ini dituliskan. Undip yang besar itu dan di puja-puja oleh banyak masyarakat awam ternyata hanya menciptakan ilusi belaka bagi calon mahasiswa baru atau hanya penampung para pelarian yang tak diterima di fakultas-fakultas lainnya. Jurusan sastra undip di Fakultas ilmu budaya (FIB) hanyalah digunakan untuk orang-orang kaya yang gagal namun ingin tetap mendapatkan kesan wah dari masyarakat dengan cara masuk ke FIB jurusan sastra atau apapun jurusan FIB hanya untuk sekedar mencari label sebagai mahasiswa Undip, terlebih ijazah Undip. Ini mengerikan dan menyedihkan plus bikin ketawa perut sambil nangis karena prihatin.   Esai tanpa batas yang ditulis oleh Budi Maryono sebagai kurator dalam buku kota dan orang-orang gila: antologi puisi dan cerpen mahasiswa FIB Undip (2010), memperlihatkan UNDIP sangat lebih mengenaskan daripada esai Yudhiono Ks yang masih tidak terlalu keras dalam mengkritik. dalam bahasa satirenya, esai tersebut  menganjurkan kita untuk bunuh diri karena rendahnya mutu dari keseluruhan isi buku tersebut yang keterlaluan sangat terlalu. Ia menulis (saya sebagai pembaca tertawa plus sakit yang tak tertahan) “MENGEJUTKAN! Benar-benar mengejutkan! Jangankan menemukan pemenang, memilik 20 puisi dan 10 cerpen karya lomba Cipta Sastra #2 untuk dibukukan pun saya kesulitan. Bukan karena semua atau sebagian besar naskah berkualitas melainkan justru karena kebalikannya. Jika tidak tahu sejak awal, saya tak akan ragu untuk menebak, peserta lomba pastilah pelajar atau maksimal “umum” dalam artian awam sastra. Amat  mustahil mahasiswa fakultas ilmu budaya. Undip pula!”. Daripada saya menulis sepenggal-penggal dari tulisan budi maryono, lebih baik saya akan melampirkan satu esai utuh yang ia tulis dalam bagian terakhir dari esai ini. Biar para pembaca diluar Semarang lebih sadar diri, ternyata Semarang sangat mengkhawatirkan dan menyedihkan dalam arus wacana sastra indonesia mutakhir/kontemporer. Terserah, sastra di Semarang ini mau diolok-olok, atau dibunuh sekalian silahkan, atau malah lebih cepat lebih baik. Saya hanya menyarankan agar jurusan sastra lebih baik ditutup saja sekalian karena hanya tambah membuat semrawut perkembangan dan image sastra di semarang itu sendiri! Lulusan-lulusan sastra ini malah akan membuat penggangguran baru dan mengacaukan perkembangan sastra kedepannya. Karena kebanyakan yang lulus tak perduli dengan sastra dan bahkan lulus dari sastra ditanya soal sastra pada error, la trus mau diapakan kalau tidak di tutup saja jurusan sasta agar kita bisa tahu siapa orang yang benar-benar serius di bidang ini (entah dalam lajur akademik, pengembang komunitas, kegiatan-kegiatan sastra, gerakan sastra maupun dalam arus wacana dan karya sastra). Bila tidak di tutup, maka para lulusan sastra yang notabenenya error ini akan menambah daftar ke erroran para penggiat sastra di semarang yang sekarang bisa dibilang mandek. Dan perspektif publik diluar semarang akan bertambah negatif karena peran fakultas ilmu budaya maupun fakultas bahasa yang didalamnya terdapat jurusan sastra ternyata nol persen ditambah peran dewan keseniannya yang memble beserta komunitas-komunitasnya yang sudah tak jelas mau kemana. Terlebih komunitas yang mengaku mengambil lajur kritik sastra! Ternyata bungkam enam ribu enam ratus bahasa! Malah fakultas fakultas yang mempunyai jurusan sastra dengan sengaja membunuh alur perkembangan sastra secara terangan-terangan. Maka dengan menyesal saya katakan, kita tutup saja jurusan sastra di berbagai universitas di semarang atau mungkin jawa tengah? Kita dorong fakultas bahasa (FIB) lebih mengutamakan jalur pendidikan bahasa dan sastra maupun pendidikan bahasa daripada sastra murni, karena jurusan yang itu lebih menghasilkan uang dan banyak diminati. Bila memang fokus pendidikan kita sekarang ini lebih suka yang berbau money oriented. Maka tutup saja jurusan sastra dan katakan secara terang-terangan “kami tidak butuh sastra, tapi yang kami butuhkan adalah uang yang dibawa oleh mahasiswa/wi kita!”.  Begitukan lebih enak dan terkesan tak munafik?.   Sastra artis   Bicara perihal humanisme dalam ranah perkembangan sastra di Semarang akan berati menampar muka sendiri. Sastra semarang berbicara humanisme? Sejak kapan? Apakah ini lelucon atau hanya iseng-iseng belaka? Sastra semarang itu sastra artis! Para penggiatnya lebih sibuk merias diri dengan puisi dan cerpen agar dikenal orang-orang! terlebih agar menarik para penggiat sasta diluar semarang itu sendiri. Humanisme dalam sastra semarang sama dengan seratus nol persen atau nol dibelakangnya nol yang berderet, bukan lagi nol koma (sastra semarang = 00000000000000000000000000000 dan seterusnya bukan 0, berapa). Atau kalau mau sedikit berbelas kasihan, dari 10 orang yang bergelut dalam ranah ini, hanya 1 orang yang mau repot-repot mengurusi kata humanisme. Kalau mau berbicara perihal wacana maupun intelektualitas dalam ranah ini siap-siap saja untuk muntah karena hampir tak ada yang peduli untuk hal-hal yang tak penting seperti itu. Yang paling penting dari sastra semarang bagi penggiatnya adalah apakah ia (penulis/pengarang) bisa dipuja-puja dan dikenal oleh orang-orang dengan puisi maupun cerpennya yang berbunga-bunga itu. Sastra semarang adalah sastra artis bukan sastra yang bertumpu pada kemanusiaan. Sastra individual yang mementingkan diri sendiri dan tak peduli mau dibawa kemana arah sastra di semarang ini kelak. Mau orang pada mati disekitarnya atau jurusan sastra tutup dan sastra di semarang diolok-olok itu urusan terakhir, yang terpenting diri sendiri sudah diakui oleh para pembaca dan pecinta sastra di luar semarang, itu dah cukup dan bahkan lebih dari cukup. Teman saya sendiri pernah bilang, sastra semarang adalah sastra kelamin bukan dalam artian yang didengungkan boemiputra. namun sastra yang ditulis atau diperuntukan untuk menarik hati seorang wanita saja (dan kebanyakan penyairnya lebih suka nonton film porno daripada berita di Koran atau di televisi maupun internet yang mengabarkan banyak orang miskin di Indonesia mati dengan berbagai alas an yang tak masuk akal). Tak lebih tak kurang katanya. Jadi kalau mau berbicara mengenai sastra untuk rakyat atau humanisme maka saya anjurkan untuk gantung pena sekarang juga, cari pekerjaan lain. Dan jangan pernah mau jadi penyair yang bisanya merangkai kata di kamar dan sibuk mengurusi diri sendiri tanpa pernah mau tahu sekitar. Contoh saja Timur Sinar Suprabana dan Triyanto Triwikromo dan orang-orang disekitar saya. Kalau saya semisal adalah seorang teroris, bukan presiden atau orang asing yang akan duluan jadi target bom saya, melainkan penyair. Para penyair harus dimusnahkan lebih dulu sebelum semua tambah kacau. Harusnya dulu pak Harto jangan menargetkan para preman untuk dijadikan sasaran tembak petrus, melainkan penyair yang harus duluan dihabisi. Terlebih para penyair eksistensialis yang hanya sibuk berkata puisi untuk puisi seperti halnya sastra untuk sastra atau seni untuk seni (tapi moncong peluru orba nyasarnya ke wiji tukhul sih, sayang rendra ga ikut juga wakaka). Jadi mungkin cerpen seno gumira ajidarma tidak melulu membicarakan preman yang mati di malam hari atau yang tergeletak di jalan di saat hujan, namun para penyair yang mati bergelimpangan di tengah jalan. Belum pernah ada dalam wacana teroris baik nasionalis maupun yang berkedok agama untuk membunuh para penyair? Padahal politikus itu hampir mirip penyair yang lebih suka menghaburkan kata-kata baik saat kampanye maupun ketika sudah duduk di kursi empuk. Jadi, pak SBY itu lebih mendingan kalau di tuduh para agamawan sebagai pembohong, soalnya lebih ngibul para penyair kita hari ini. Jadi bagi presiden yang akan datang, kalau bisa jangan membunuh para teroris maupun yang dianggap pemberontak di daerah-daerah. Mereka lebih terang-terangan dan mudah diketahui. Sedang penyair itu lebih munafik dari para menteri dan anggota DPR sekalipun atau lebih dari pada kepolisian kita hari ini. Maka bunuhlah para penyair leih dulu. Lebih cepat lebih baik. Kalau tidak besok bisa sial.   Hapus saja semarang!   Afrizal malna pun dalam bukunya perjalanan teater kedua : antologi tubuh dan kata, hampir sama sekali tak menyebut teater semarang yang perlu dicatat secara panjang lebar maupun yang patut diperbincangkan karena memang tidak perlu. Teater lingkar pun hanya beberapa kali disebut dan itupun hanya menunjukan bahwa di semarang ada teater itu dan afrizal tak pernah mau mendiskusikan ataupun menulisnya secara deskribtif maupun hanya sedikit mengulasnya. Mungkin teater di semarang sama tak pentingnya dengan sastra itu sendiri. Setelah perkembangan teater di semarang hampir dibuang dari wacana mutakhir perkembangan progresifitas teater di Indonesia, mungkin yang perlu dicatat dan di garis bawahi adalah tidakkah kita harus juga menghapus semarang dari sejarah dan wacana sastra Indonesia mutakhir dan lebih baik mengatakan sastra individu bukan sastra semarang atau jawa tengah? Bahkan dalam buku sesuatu Indonesia malah hampir tak ada orang semarang asli yang menonjol dalam perkembangan puisi salama kurun waktu dekade 80-90an. Ini mengenaskan bukan? Orang yang terlihat menonjol di Semarang bukan orang semarang itu sendiri. Melainkan orang-orang diluar kota yang kuliah di semarang. Semarang hanya mencatatkan Hendry Tm (psikologi unika soegijapranata), Heru Emka (penyiar radio), Mukti Sutarman Espe (sastra dan bahasa ikip semarang), utung sulendra (teknik elektro undip) saja. Bisa dibilang semarang memang sangat mengenaskan semenjak dahulu kala. Dari sekitar 250 penyair (atau yang pernah menulis puisi) dalam buku ini, hanya 4 orang saja yang asli semarang dan yang paling mengenaskan tak ada penyair yang muncul dari jurusan sastra murni. Mukti Sutarman Espe dari Sastra dan Bahasa Ikip Semarang, sedang Undip malah diwakili oleh penyair dari teknik elektro bukan sastra atau fakultas ilmu budaya undip! Yang lain dari psikologi dan penyiar radio! Tidakkah ini mengenaskan?! Sungguh memalukan! Apa yang terjadi dengan semarang? Orang-orang yang cukup dikenal di semarang bukan orang asli semarang, timur Sinar Suprabana (Surakarta), Triyanto Triwikromo (Salatiga/PBSI-FPBS IKIP Semarang) dan beberapa penyair ataupun penggiat sastra lainnya yang pernah menempuh pendidikan atau bekerja di semarang; Bambang Sadono (Blora/fakultas sastra jurusan sastra inggris Undip), Bambang Edy Supriyono (Jepara/menetap di Semarang), Bambang Supranoto (purwokerto/sarjana teknik sipil undip), Beneo Siang Pamungkas (Bojonegoro/IKIP Semarang jurusan biologi), Eko Tunas (Tegal/IKIP PGRI Semarang), Gufron Hasym (Pekalongan/fakultas hukum Untag Semarang), Gunoto Sapire (Kendal/redaktur harian Wawasan), Miev Prabana (Jepara/fakultas dakwah IAIN walisongo semarang), Sugandhi Putra (Kotabumi/fakultas kesehatan masyarakat Undip), Ustadji Pantja Wibiarsa (Yogyakarta/IKIP Semarang). Jadi mulai sekarang undip (FIB, terkhusus jurusan sastra)  lebih baik di tutup! Lebih baik para calon sastrawan dan penyair maupun cerpenis kita suruh menimba ilmu di IKIP PGRI Semarang saja. Kalau IKIP masih tak memuaskan sekalian tutup semua. Kata teman-teman saya sendiri, anak-anak FPBS IKIP hanya mau ikut kegiatan-kegiatan sastra yang diselenggarakan universitas karena ada ancaman nilai. Apakah itu tidak lucu?  Apalagi Unissula (universitas sultan agung semarang)? Baru berdiri 4 tahun percobaan untuk jurusan sastra di FB (fakultas bahasa), sastra dilakukan dengan penuh diskriminasi dari pihak universitas maupun fakultas. Dari mulai dosen yang masih S1 sampai dosen yang tak paham sastra sama sekali! Bahkan yang paling mengenaskan, jurusan yang belum di akreditasi ini dan tempat kuliahnya masih ikut perpustakaan pusat akan di tutup jikalau tahun ini jurusan sastra tidak ada yang berminat! Namun biaya masuk dan SPP naik terus! Jadi buat apa mau dipertahankan? Sastra baru dipertahankan kalau bisa buat ngeruk duit! Itulah realitas sastra kita hari ini. Itulah gema kematian sastra di Semarang!!!  Tak perlu ditambah catatan jurusan sastra maupun fakultas (pendidikan) bahasa dan sastra di semarang lagi untuk melihat kebobrokan yang parah ini. Dari mulai Unnes sampai Udinus dan beberapa universitas kecil hanya menelorkan kemungkinan 1 sampai 5 orang yang benar-benar serius di sastra dari sekian ratusan atau puluhan mahasisawanya. Tragis, mengenaskan dan parah.   Dari beberapa penerbitan maupun launching antologi puisi maupun cerpen baru-baru ini, bentuknya masih itu-itu juga, sedang isinya seringkali menandakan kebobrokan moral dan rendahnya intelektualitas serta humanisme di masing-masing pengarang maupun penyair. Selain kebanyakan para pencipta karya tersebut lebih asyik kupu-kupu atau kuliah-pulang kuliah-pulang dan lebih suka menunggui kamarnya walau ia tahu kamarnya tak usah di jaga pun tak akan pergi kemana-mana. Padahal hal seperti ini seringkali di kritik oleh Eko Tunas dalam kesempatan waktu acara-acara sastra, walau Eko Tunas sendiri seringkali megalomaniak. Itulah Semarang, sastra artis. Baik yang tua maupun muda. Sama atau hampirlah. Bahkan launching buku (perjalan teater kedua; antologi tubuh dan kata) afrizal malna pun di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) hanya di ikuti oleh segelintir orang. mungkin banyak dosen sastra yang tak pernah mengajarkan sejarah sastra sehingga anak didiknya tak tahu sama sekali perihal perkembangan sastra akhir-akhir ini. Saya tak memuji Afrizal, saya sendiri suka afrizal malah dari buku-bukunya daripada puisi-puisinya. Hanya saja, Afrizal yang banyak dikagumi itu di Semarang terlihat mati kutu dan sepi peminat. Lalu yang lainnya? Bisa dipikirkan sendiri. Kemaren Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT)meluncurkan dua buku antologi, puisi (Rendezvous; Antologi Puisi Pendapha 12) dan cerpen (Tatapan Mata Boneka; Antologi Cerpen Joglo 11) yang isinya bisa dibilang tragis. Dan hanya beberapa yang menarik. Dan yang mengherankan, antusiasme dalam mengikuti lomba ini malah terbit dari kota-kota kecil yang kurang diperhitungkan dalam wacana sastra Indonesia (nasional) kita hari ini, semisal; boyolali (Anna subekti/puisi), Purwokerto (Arif Hidayat/puisi), banyumas/purwokerto (dimas indianto/puisi/perlu koreksi lagi), Rembang (Muhammad Baihaqi lathif/puisi), Kudus (Syaiful Arif/puisi), Pati (Pendi Subarong/puisi), Purwokerto (Wiwit Mardianto/puisi), lalu ada juga Guri ridola (puisi) dari Batu Sangkar, Sumatra barat yaitu mahasiswa dari Undip yang tercatat sebagai mahasiswa ilmu perpustakaan universitas semarang, Arif Fitra Kurniawan (puisi) dari semarang yang malah membuat heran dia ini sedang belajar di STIEPARI Semarang mengambil perhotelan! Sedang yang lainnya dari psikologi! Yaitu A. Ganjar Sudibyo -ganz pecandukata- (puisi) yang lahir di Semarang. Semarang di wakili oleh tiga orang dengan dua orang asli semarang dan satu dari Sumatera barat. Anehnya sastra undip tak ada sama sekali! Malah yang mengisi anak-anak dari perhotelan, psikologi dan perpustakaan! Apakah ini sangat tak aneh bin ajib njilmet dan menyedihkan? Bahkan terlalu menyedihkan. Sedang jurusan sastra dan bahasa di universitas yang lain dalam ranah puisi hampir tak berkepentingan ikut acara ini. Sementara dibagian cerpen ada 10 orang yang lagi-lagi sastra Undip tak ada disitu. Kenapa saya selalu mengungkit-ungkit Undip? Karena universitas ini, terlebih FIB harus memberi contoh kepada universitas-universitas lain dan seharusnya ikut dalam memajukkan khasanah sastra di Semarang atau bahkan nasional dengan modal nama universitas tua yang sudah dikenal dimana-mana. Namun tetap saja Undip memble dari dulu dan hanya modal nama besar dan omong kosong! Untuk memperjelas omong kosong Undip maka inilah 10 orang dari cerpen Tatapan Mata Boneka yang tak ada mahasiswa/wi Undip di dalamnya; A. Musyafak (Demak/IAIN WALISONGO Semarang), Dendy R Sukmaraja (Klaten), Erna Suryandari (Klaten), Kartika Catur Pelita (Jepara), Mariatul Kiptiah (Temanggung/BKI STAIN Purwokerto), Ryan Rahman (Kebumen/sastra inggris FIB Unsoed Purwokerto), Sani Almufaroh (jepara/pendidikan bahasa inggris IKIP PGRI Semarang), Setia Naka Andrian (Kendal/fakultas pendidikan sastra dan seni-PBSI IKIP PGRI Semarang), Siti Fatimah (Pati), teguh trianto (Purbalingga). Lagi-lagi Semarang di wakili tiga nama dan lagi-lagi sastra Undip sama sekali tak mengambil tempat! Malah IKIP yang nongkrong dengan dua orang sementara ada satu mahasiswa dari IAIN Walisongo semarang. Kalau melihat hal-hal lucu seperti ini Semarang semakin tampak mengenaskan walau akhir-akhir ini sangat menggeliat dengan munculnya anak-anak muda dengan gairah baru namun masih saja suka di kos maupun di kamar dan bekerja secara individual. berkomunitas hanyalah kebutuhan untuk memudahkan dikenal publik. Mungkin hanya satu dua orang yang tak mempunyai kepentingan ingin  dikenal publik, ia senang dengan sastra dan berkarya dengan sukarela. Dan di Semarang hal seperti itu langka! Atau bisa dibilang tak laku.   Launching buku antologi cerpen IKIP PGRI semarang (14 juli 2011 di TBRS) yang berjudul “Perempuan Bersayap di Kota Seba” pun tak ada cerpenis asli Semarang di dalamnya. Malah yang mendominasi Kendal dan Demak. Sungguh aneh. Dan isi cerpen inipun tak jauh beda dari perkembangan sastra Semarang yang Jawa Tengah akhir-akhir ini yang seringkali berbicara perihal sex, cinta, kematian, perselingkuhan dan hanya beberapa orang entah penyair maupun cerpenis yang mau menulis rakyat miskin sekitar. Dari sekian banyak antologi yang terbit, hanya satu dua orang yang konsisten dengan itu semua! Sementara launching bukunya Hendry Tm yang terbit lebih dulu yang berjudul “Tuhan kemana cinta” malah lebih suka memilih tempat di atas langit! masih ada peluncuran buku puisi Ridho Satrio Hutomo di TBRS, seorang mahasiswa FISIP jurusan ilmu pemerintahan yang mana dari golongan kaya yang bisa degan mudah menerbitkan puisinya sendiri, entah isinya mau sontoloyo maupun amburadul yang penting terbit dan dikenal orang. walaupun dalam buku puisi Ridho “lingkar air mata” ini ada beberapa puisi yang berbicara tentang keadilan dan kebenaran serta ketertindasannya rakyat kecil, namun tetap saja mayoritas puisinya bercerita tentang pergulatan dirinya sendiri, dari mulai masalah cinta dan kesendirian dan kebingungannya akan hidup. Tapi anehnya kenapa malah anak FISIP ini yang malah lebih menyukai sastra dibanding anak sastra itu sendiri? Apakah ini lagi-lagi tidak aneh? (sabar sabar). Dan hal yang mengenaskan, kemana para esais dan kritikus sastra semarang? mati! Sudah itu saja, tak usah panjang lebar nanti bakal ada yang marah.   Eh masih ada yang tertinggal. Launching antologi puisi sepuluh kelok di mouse land pun mayoritas isinya juga seperti diatas. Beberapa yang berbicara tentang realitas sekitar. Sudah itu saja. Mau ditambah panjang lebarpun percuma dan malah tambah sakit dan enek. Terlebih setiap acara sastra hanya malah dibuat ajang curhat penulis maupun pengarang. Kritik sastra mati dan komunitas yang katanya bergelut dalam ranah ini malah diam saja dan terkesan mendiamkan. Itulah open mind community. harusnya komunitas ini lebih aktif lagi dalam mengkampanyekan dan mengaplikasikan kritik sastra.   Lebih baik saya sudahi saya esai yang aneh ini dan tentunya akan lebih di kualitaskan lagi dalam analisis kuantitatif maupun kualitatifnya nanti. Yang perlu di ingat dari penggiat sastra Semarang adalah jika kita tidak berbenah dari sekarang dan saling bahu membahu untuk menghidupkan sastra yang hampir mati ini, maka sastra di Semarang menunggu ajalnya untuk di depak, tak masuk catatan, maupun dengan menyesal di hapus dari perkembangan sejarah sastra Indonesia atau nasional kontemporer karena selain rendahnya intelektualitas di dalamnya, rendah pula imajinasi bahasa dan realitas yang tersaring di dalamnya. Hanya satu dua orang saja yang menonjol sebagai pengecualian yang mana bukan orang-orang asli Semarang. Sedang orang Semarang sendiri yang sedang menanjak karirnya dalam ranah sastra harus berjuang ekstra keras untuk mengenalkan sastra ke publik atau masyarakat sekitar Semarang. Atau mungkin karena tak mau repot-repot lebih memilih mengunci diri di kamar sambil nulis dan mengikuti lomba sendirian? Itu sudah banyak dan menjadi bibit-bibit penyakit yang tak baik dan menggrogoti Semarang selama ini. Terakhir, bubarkan saja Dewan Kesenian Semarang yang diam saja seperti onggokan mayat itu. Bagi teman-teman di luar Semarang, inilah sastra Semarang itu. Bila masih tak percaya, datang saja ke Semarang dan siap-siap untuk nangis. Sudah cukup esai ini berbicara panjang lebar dan tak jelas. Kapan-kapam esai ini akan dibenahi lagi. Dan terakhir, tutup FIB Undip! Itu saja tambahannya.   Semarang, rabu 03 juli 2011   Lampiran: esai Tanpa Batas dari budi maryono selaku kurator dalam buku Kota dan Orang-Orang Gila; antologi puisi dan cerpen mahasiswa FIB Undip (2010). Perhatian: diharapkan jangan tertawa lebar-lebar ketika sedang membaca esai dibawah ini karena takut ada setan maupun lalat lewat. Berbahaya untuk kesehatan.                                 ​                              ​                       Tanpa Batas                               ​                               ​                      Budi maryono   MENGEJUTKAN! Benar-benar mengejutkan! Jangankan menemukan pemenang, memilik 20 puisi dan 10 cerpen karya lomba Cipta Sastra #2 untuk dibukukan pun saya kesulitan. Bukan karena semua atau sebagian besar naskah berkualitas melainkan justru karena kebalikannya. Jika tidak tahu sejak awal, saya tak akan ragu untuk menebak, peserta lomba pastilah pelajar atau maksimal “umum” dalam artian awam sastra. Amat  mustahil mahasiswa fakultas ilmu budaya. Undip pula!   Puisi berjudul “Om Gayus” ini, misalnya, membuat saya terkesiap hingga berulang kali menepuk jidat:   Kau berkelana Mengitari belahan Negara Bagaikan merpati di angkasa luas Meski statusmu tahanan Kau mampu menghirup udara bebas Om gayus Bakatmu mafia pajak Membuatmu mampu melakukan apa saja Orang-orang yang adil dan disiplin Mampu kau kendalikan bagaikan pewayangan     Itu masih “lumayan”. Naskah yang dimaksudkan sebagai puisi berjudul “Sasindo” di bawah ini malah membuat saya sangat ingin membenturkan jidat ke dinding besi berkarat:   Kuliah di Sastra Indonesia Sama seperti kuliah di jurusan lainnya Ada tantangan tersendiri Setiap bidang keilmuan diperlukan ahli Maka Tetaplah semangat menuntut ilmu   Gubrak! Kalau tidak pernah mendengar Rhoma Irama berdendang “putus asa adalah suatu doa... bunuh diri itu perbuatan keji...”, sudah saya tempuh jalan harakiri.   Sebelum  menulis, memang tidak harus orang membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia dan iseng-iseng membaca definisi “puisi adalah ragam bahasa yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Puisi adalah gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam orang kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus...” bahkan boleh-boleh saja berpendapat, saat menulis, teori sastra tidaklah penting.   Akan tetapi, sungguh sulit bagi saya untuk percaya bahwa sebagian besar peserta Lomba Cipta Sastra #2 tidak pernah membaca satu pun puisi karya para penyair Indonesia sehingga tahu, lebih afdol lagi merasakan, “oh begini to puisi itu”. Dan ketika tiba giliran menulis (entah untuk lomba entah untuk pacar), tak bakal tega membiarkan kata berhamburan dalam tipografi puisi tanpa “audisi”.   Sayang, percaya tak percaya, begitulah adanya. Maka ketika menemukan puisi yang (sedikit saja) lebih berasa, lebih kelihatan si penulis pernah membaca, bukan main ledakan kegembiraan di dada. Kata-katanya sama, biasa saja, namun terpilih seperti bait penutup dalam puisi “tabahlah” ini:   tabahlah setabah doa yang tak pernah tahu akan sampai di mana aminnya   ******       Itu pula yang terjadi ketika saya membaca cerpen “Khidir dan Orang-orang Gila”, “Kebaya Tanpa Bordir”, dan “Namanya I Nyoman Soma”. Dari sisi mana pun, termasuk gaya bercerita, tidak ada yang baru. Ketiga karya itu bahkan membutuhkan beberapa kali sentuhan kreatif lagi, tak terkecuali penyuntingan bahasa, agar bisa memenuhi standarnya sendiri sebagai cerpen pilihan utuh, syukur-syukur baik.  Lalu kenapa bisa memicu kegembiraan? Ya karena sebagian besar cerpen yang lain jauh lebih kedodoran, bahkan sejak judul dan alinea pertama, dua unsur pertaruhan awal dalam sebuah cerita.   Mengejutkan! Lagi-lagi mengejutkan! Hari gini masih ada judul cerpen “Ketulusan Kasih Seorang Istri”, “Elegi di Balik Awan”, “Cinta di Ujung Lensa”, “Penyesalan yang Berujung Manis”, “Aku dan Penyesalanku”, atau “Kecupan Sadis Berbuah Surga”. Tak hanya gagal menjadi judul yang menarik tapi juga membuat cerpen tampil “buruk rupa”. Sangatlah menyenangkan jika batang-tubuh cerpen-cerpen itu mengubah si buruk rupa menjadi angsa cantik memesona. Nyatanya, tidak!   Banyak peserta mengambil “jalan aman”: memasang judul satu kata seperti “Televisi”, “Pesimisme”, “Kaca”, “Karcis”, “Menikah”, “Putih”, “Topeng”, “Koran”, dan “Seruling”. Tak perlu susah-susah mencari paduan kata yang bagus, tak perlu khawatir judul tak bakal sesuai dengan isi seperti “larangan” guru bahasa dulu kala. Namun judul model satu kata sangatlah umum, siapa pun bisa bikin, dan acap menjauhkan hati pembaca dari goda. Kalau tak ada topangan alinea pertama yang menjerat, ya sudah, lewat...   Celakanya, alinea pertama semacam itu sudahlah jarang hadir, masih ditambah pula kesemrawutan tata bahasa. Tak jelas mana subyek mana objek, mana kata depan mana imbuhan, mestinya titik atau koma, tak jelas juga “ini mau ngomong apa” karena informasi berebut tampil dalam keterbatasan kosakata. Contoh saja:   Dua manusia yang berbeda jenis, pada awalnya mereka saling benci hingga cewek tersebut judes pada cowok tersebut, dengan kesabaran dan ketabahannya seiring waktu berjalan ternyata mereka memendam rasa, hingga cinta itu tumbuh dengan subur... (“Love is Benci”)   Berawal dari rasa ngefans, kesukaan itu aku pendam selama tujuh tahun lamanya. Wanita yang berwajah manis dan lembut itu satu kampong dengan aku.. dengan rasa penasaran, aku pun untuk sekali lagi memastikan apakah kelembutan yang aku lihat itu adalah rasa saying datang dihati aku, aku datang kerumahnya... (“Aku”)   Anak remaja yang mulai menginjak dewasa, kini dilingkupi rasa ketakutan, karena belum mempunyai pekerjaan. Namaku adalah Adam Irawan, itulah panggilannya. “Aku akan mencarikerja dengan caraku sendiri” begitulah aku sesumbar kepada diriku sendiri. Adam merasa pesimis, maklumlah karena Aku hanya berijazah SMA dan hidup di kalangan orang miskin... (“Darah Pelangi: Episode Cinta adalah HAM”)   Semua orang membawa beban hidup-nya masing-masing, entah berat ataupun ringan tak ada timbangan yang mampu mengukurnya. Ukurannya adalah seberapa kuat seseorang itu tidak lari dari tanggung jawab terhadap bebannya... (Punggung)   Wahai! Kalau pengarang miskin kosakata, tak paham tata bahasa, bagaimana bisa bercerita?   Lalu tidak adakah harapan walau secercah? Tentu saj aada. Diantara keterbatasan atau kelemahan karya para peserta, saya tetap merasakan keinginan kuat untuk bersastra. Dan keinginan semacam itu, apalagi bisa berubah menjadi ghirah, gairah yang senantiasa meluap-luap, jelas merupakan modal besar bagi pelahiran karya sastra berkualitas, berkelas. PR-nya adalah tak pernah berhenti belajar dan setia pada proses tanpa batas.     2011     *Oleh Naga Sukma (Wahyu) salah seorang penggiat di sebuah komunitas sastra semarang.
By: Ganz Pecandukata
See More
Tuesday at 9:21pm · · ·

    • Indah Mutiara Sari pengen nangis bacanya
      Tuesday at 10:10pm via Facebook Mobile ·
    • Moch Taher Agus Prasetyo Silit kopeten
      Tuesday at 11:07pm via Facebook Mobile ·
    • Moch Taher Agus Prasetyo sebetulnya tidak harus begini, kita hanya tak memiliki kesempatan untuk mengapresiasikannya. Sastra bukan hanya semenit jadi seperti kita membuat nasi goreng. Sastra harus matang. Sastra adalah proses.
      Jika harus dibubarkan mengapa tidak di hentikan sampai tahun ajaran kemarin saja? 2011 tidak boleh ada lagi sastra. Begitu lebih baik.

      Dalam benak saya jika saya hanya menginginkan gelar, saya beli saja bisa. Toh banyak yang masih bisa di sogok untuk di beli gelarnya. Ijasahpun akan saya berikan orang tua, karena mereka yang menginginkan saya menjadi sarjana. Tapi yang kita dapat dalam pembelajaran tidak akan hilang.

      Maaf jika saya sok tahu, baca artikelnya saja sudah males. Jadi saya hanya baca setengahnya.

      Sorry guys.
      Tuesday at 11:16pm via Facebook Mobile · · 2 peopleLoading...
    • Moch Taher Agus Prasetyo Besok saya bikin video bmx lagunya gambang semarang. Hahahahahahahah
      Tuesday at 11:16pm via Facebook Mobile ·
    • Destaayu Wulandari iya sih Taher, mungkin kalo baca artikel aslinya bakal gregetan sendiri. banyak komen dari orang-orang yang namanya ikut dilipetlipet di artikel ini.
      Tuesday at 11:18pm ·
    • Budie Much Chilman untung bulan poso...yen orak wes mbuh rak ngerti dadine!!!
      Yesterday at 12:03am ·
    • Qur'anul Hidayat Idris Scra pribdi tanggapanmu cak atas esai ini. . Aduh kok pas gak ada koneks d laptop gni ya. .
      Yesterday at 12:14am via Facebook Mobile ·
    • Deeta Hadi kaget bacanY,,,!!
      *sebegitu buruk kah..???
      Yesterday at 12:22am ·
    • Angga Anggara Stlah sd m'bca' sbnr'a tlsan tsb tdk jls dia m'bhas apa n da tjuan pa dblx tlsan tu,
      Pa cm skdar umpatan dr org yg cd bsa mkr dr ktiap'a sndr,

      Sastra pun tdk hnya skdar m'bhas mslh kmiskinan dnegri nie sastra mnrut sya adalah cra memahami hidup,
      Jd tdk mdah untk m'bcrakan sastra b'dsarkan tudingan smacam tu,

      Klo pun fib di undip atau pun fib dslurh semarang dbubarkan sya pun yakin tdak akn mengubh apapun ksenian n budaya dsemarang,
      Karena yg salah bkan orang”a namun sistem yg salah yg m'buat smarang jd kterbelakangan,
      Dbtuhkan org yg mau merubh sistem yg sdah mengakar wlpun tu slah,
      Org yg ingn mrbh sistem = msuh msyarakat,
      Siapa yg mau? Kalau bkan dr hati tak akn da yg sanggup,

      Saya yakin n meyakini bhwa sastra akan terus berkibar wlaupun hnya ada seglintir org yg mau m'sastrakae hati'a,
      Yesterday at 12:46am via Facebook Mobile · · 1 personLoading...
    • Lindha Nurlita Puspitasari Nek aq sih,,,jadikan artikel itu berdampak positif bagi kita, jdkan penyemangat untk lbh baik lg dibidang sastra, g usah trlalu memikirkan artikel itu, bener kata taher. Lagian artikel kuwi yo rag ono jluntrungane blass...
      Tetep semangat bt sasindo..
      Yesterday at 8:08am via Facebook Mobile ·
    • Harits El Fahmy ini apa ya? ceramah jumat? baca beginian bikin ngantuk, sob.
      Yesterday at 8:32am ·
    • Gina Yoona Hooaaammhh...
      Yesterday at 10:37am ·
    • Qur'anul Hidayat Idris Hidup harits, lindha, gina, angga, taher. . Semangat bro
      Yesterday at 10:46am via Facebook Mobile ·
    • Moch Taher Agus Prasetyo Sorry kawan aku hendak kesolo. Indak bisa dateng ambo
      Yesterday at 12:50pm via Facebook Mobile ·
    • Dissa A Dhatu A dududududududu....
      Yesterday at 4:05pm ·
    • Dewi Nafisa Prabawati namun bukankah pernah diterangkan mba laura kalau kita itu bukan dicetak jadi sastrawan tp ilmuwan sastra...smg yg bikin artikel mengerti.
      15 hours ago ·
    • Rosyidi Siswanto PARAH__
      a few seconds ago ·

Tidak ada komentar:

Posting Komentar